Sering kali kita mendengar ucapan yang dilontarkan orang dalam berbagai perbincangan beberapa kalimat antara lain i : sudah tidak mempunyai rasa malu lagi pasangan anak-anak muda kita sekarang ini bergandengan tangan atau naik motor berboncengan saling berpelukan, ada pula yang berkata sungguh telah luntur rasa malunya para aparat sekarang ini melakukan pemerasan kepada para pelanggar hukum, di lain pihak ada yang berucap : ada beberapa pengusaha kontraktor untuk memperoleh proyek pemerintah menyuap pejabat kemana rasa malunya. Selain dari itu ada ibu-ibu rumah tangga yang didatangi pengemis berkomentar : kok tidak malu-malu mengemis padahal masih muda sehat lagi. Ada pula anak muda yang melihat ibu-ibu atau yang sudah nenek-nenek yang mengenakan celana pendek atau rok mini berkomentar : aduh malu-maluin aja sudah nenek—nenek masih mau mejeng . Dan banyak ucapan-ucapan yang senada dengan itu yang pada intinya sebagian orang-orang akan memberikan komentar atas sesuatu yang dilihatnya kurang enak untuk dipandang dan dianggap menyalahi dari yang seharusnya.
Dari fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita sekarang ini nampaknya penampakan perbuatan yang menyelesihi kebiasaan yang baku dan dijadikan norma acuan , bukanlah lagi merupakan hal yang aneh dan malah sudah dianggap oleh sebagian orang sebagai hal yang lumrah sebagai dampak dari kemajuan zaman. Namun sebenarnya banyaknya hal-hal negatif yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat tersebut tiada lain adalah karena sudah meluntur atau bahkan hilangnya sama sekali rasa malu dalam diri banyak orang.
Bagaimamanakah Rasa Malu Menurut Para Ulama ?
Para ulama salaf banyak yang memberikan komentar atau tanggapan serta mendefinisikan tentang malu tersebut, dimana meskipun disampaikan oleh banyak ulama, namun pada intinya subtansi pengertian malu tersebut adalah sama meskipun pengungkapan kalimatnya yang berbeda.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab beliau Tazkiyatun Nafs, al-Hayaa’ atau malu adalah turunan dari kata al-Hayaat ( hidup), karena hati yang hidup berarti pemiliknya juga memiliki rasa malu., didalmnya terdapat sifat malu yang dapat menghalanginya dari berbagai perbuatan buruk, karena hidupnya hati adalah penghalang dari keburukan yang dapat merusak hati.
Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.
Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah mengatakan –sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dalam kejelekan adalah rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu, seolah-olah dia diperintah secara tabiat untuk melakukan segala macam kejelekan.” (Fathul Bari, 10/643)
Sebenarnya apa malu itu? Para ulama ada yang menjelaskan, bahwa malu hakikatnya adalah akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi
.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah tabarak wa ta’ala ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/502
Al-Hafizh rahimahullah menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan, sehingga dia tidak akan seperti hewan. (Fathul Bari, 1/102)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)
Selanjutnya beliau juga berkata, “Lima tanda celakanya seseorang adalah kerasnya hati, mata yang tidak bisa menangis, sedikitnya rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan bahwa malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.”
Telah diriwayatkan dari al-Qasim al-Junaidi rahimahullah, ia berkata, “Malu adalah memperhatikan nikmat-nikmat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan menganggap dirinya kurang (mensyukuri nikmat-nikmat tersebut). Dari keduanya terlahir rasa malu.”
Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah hafizhahallahu ta’ala berkata, “Malu adalah salah satu akhlak yang utama. Ia merupakan perhiasan manusia. Hilangnya rasa malu akan menyebabkan segala macam keburukan, sehingga terjadilah pertumpahan darah, dinodainya kehormatan manusia, dilakukannya perbuatan-perbuatan keji, tidak dihargainya orang-orang tua, dan campur baurnya laki-laki dengan para wanita.Para wanita keluar sembari menampakkan perhiasan dan berdandan, bepergian tanpa mahram. Hilangnya rasa malu juga akan menyebabkan al-haq hanya didengar namun selanjutnya ditolak.”
Muslim yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, “ rasa malu termasuk iman, artinya iman itu dapat menghalangi pelakunya dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman menghalangi pelakunya dari hal itu. Ia disebut iman sebagaimana sesuatu disebut dengan sebutan sesuatu yang menduduki kedudukannya.
Malu adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong dia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Dia merupakan hijab yang bersifat umum yang diperintahkan kepada setiap muslim baik dia laki-laki maupun wanita.
Rasa malu merupakan bagian dari keimanan bahkan dia merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya keimanan seorang muslim. Karenanya, manusia yang paling beriman -yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- adalah manusia yang paling pemalu, bahkan melebihi malunya para wanita yang dalam pingitan.
Intinya, malu tidaklah menghasilkan kecuali kebaikan dan dia tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan pula. Karenanya wasiat malu ini merupakan wasiat dari para anbiya` sejak dari zaman ke zaman kepada umatnya, agar mereka bisa menjaga sifat malu mereka, karena hal itu akan menjaga kehormatan mereka di dunia dan jasad mereka di akhirat dari api
Malu Menurut Syari’at
Islam memandang pentingnya masalah malu ini, sehingga banyak sekali hadits-hadits yang membicarakan tentang rasa malu, ini membuktikan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam menganggap bahwa masalah rasa malu perlu diingatkan bagi umatnya agar dari awal-awalnya sudah harus mendapatkan perhatiant. Beberapa hadits tentang rasa malu ini antara lain :
1. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dalam hadits beliau berikut ini mengingatkan agar tidak berbuat sesuka hatinya :
سنن أبي داوود ٤١٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
Sunan Abu Daud 4164: dari Abu Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, 'Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu'
2.Sesungguhnya rasa malu yang dimiliki oleh seseorang dalam dirinya tiada lain senantiasa akan mendatangkan kebaikan, sebagaimana hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
صحيح مسلم ٥٤: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ إِسْحَقَ وَهُوَ ابْنُ سُوَيْدٍ أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ حَدَّثَ قَالَ
كُنَّا عِنْدَ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ فِي رَهْطٍ مِنَّا وَفِينَا بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ فَحَدَّثَنَا عِمْرَانُ يَوْمَئِذٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌكُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ إِنَّا لَنَجِدُ فِي بَعْضِ الْكُتُبِ أَوْ الْحِكْمَةِ أَنَّ مِنْهُ سَكِينَةً وَوَقَارًا لِلَّهِ وَمِنْهُ ضَعْفٌ قَالَ فَغَضِبَ عِمْرَانُ حَتَّى احْمَرَّتَا عَيْنَاهُوَقَالَ أَلَا أَرَانِي أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُعَارِضُ فِيهِ قَالَ فَأَعَادَ عِمْرَانُ الْحَدِيثَ قَالَ فَأَعَادَ بُشَيْرٌ فَغَضِبَ عِمْرَانُ قَالَفَمَا زِلْنَا نَقُولُ فِيهِ إِنَّهُ مِنَّا يَا أَبَا نُجَيْدٍ إِنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ حَدَّثَنَا أَبُو نَعَامَةَ الْعَدَوِيُّ قَالَ سَمِعْتُ حُجَيْرَبْنَ الرَّبِيعِ الْعَدَوِيَّ
يَقُولُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ حَدِيثِ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ
Shahih Muslim 54: - bahwa Abu Qatadah menceritakan hadits, dia berkata, "Kami berada di sisi Imran bin Hushain dalam sebuah rombongan, dan di antara kami ada Busyair bin Ka'ab, maka Imran bin Hushain, saat itu, menceritakan kepada kami, dia katakan, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Malu itu adalah baik semuanya." Atau dia berkata, "Malu itu semuanya adalah baik." Maka Busyair bin Ka'ab berkata, "Sungguh, dalam sebagian kitab atau hikmah kami mendapatkan bahwa dari rasa malu itu akan muncul ketenangan dan kewibawaan kepada Allah, dan dari malu itu ada kelemahan." Maka Imran marah hingga kedua matanya merah seraya berkata, "Kenapa kulihat aku ceritakan kepadamu dari Rasulullah kamu justru menentang!" Abu Qatadah berkata, "Maka Imran mengulangi hadits tersebut." Abu Qatadah berkata, "Dan Busyair juga mengulanginya lagi, sehingga Imran marah." Abu Qatdah melanjutkan, "Maka kita tetap mengatakan tentangnya, karena kata-kata tersebut berasal dari kita wahai Abu Nujaid. Itu tidak apa-apa."
3. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena rasa malu yang dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin Umar radhyallahu’anhuma:
صحيح البخاري ٥٦٥٣: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ يَقُولُ إِنَّكَ لَتَسْتَحْيِي حَتَّى كَأَنَّهُ يَقُولُ قَدْ أَضَرَّ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Bukhari 5653: dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki yang tengah mencela saudaranya karena malu, kata laki-laki itu; "Sesungguhnya kamu selalu malu hingga hal itu akan membahayakan bagimu." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah ia, karena sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari iman
4. Rasa malu kepada Allah juga harus dimiliki orang-orang muslim sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ٢٣٨٢: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنْعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّالِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَافَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبَانَ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ
Sunan Tirmidzi 2382: Dari Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Malulah pada Allah dengan sebenarnya." Berkata Ibnu Mas'ud: Kami berkata: Wahai Rasulullah, kami malu, alhamdulillah. Beliau bersabda: "Bukan itu, tapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah kau menjaga kepala dan apa yang difahami dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala kemusnahan, barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukannya, ia malu kepada Allah dengan sebenarnya." Berkata Abu Isa: Hadits ini gharib, kami hanya mengetahuinya dari jalur sanad ini dari hadits Abban bin Ishaq dari Ash Shabbah bin Muhammad
5.Malu merupakan bagian dari iman, hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Hurairah radhyallahu’anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
صحيح مسلم ٥١: حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْالطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Muslim 51: dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA ILLALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman."
6.Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam sebagai teladan umat merupakan sosok yang mempunyai rasa malu yang tinggi, sebagaimana hadits berikut :
صحيح البخاري ٥٦٥٤: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مَوْلَى أَنَسٍ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي عُتْبَةَسَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ يَقُولُ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا
Shahih Bukhari 5654: dari Bekas budak Anas, Abu Abdullah berkata; namanya adalah Abdullah bin Abu 'Utbah dia berkata; saya mendengar Abu Sa'id berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan yang dipingit di kamarnya."
7. Apabila seseorang merasa malu kepada Allah, maka Allah pun akan malu kepadanya, hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits berikut ini :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍأَخْبَرَهُ عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ نَفَرٌ ثَلَاثَةٌ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَخَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُاللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ
و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا حَرْبٌ وَهُوَ ابْنُ شَدَّادٍ ح و حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا أَبَانُ قَالَاجَمِيعًا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ أَنَّ إِسْحَقَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ حَدَّثَهُ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ بِمِثْلِهِ فِي الْمَعْنَى
Hadis riwayat Abu Waqid Al-Laitsi Radhiyallahu 'anhu : ia berkata:Bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk di mesjid bersama para sahabat, tiba-tiba muncullah tiga orang. Yang dua orang datang menghampiri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan yang satu lagi berlalu pergi. Ia berkata: Kemudian keduanya berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu yang satu melihat tempat kosong di antara lingkaran orang maka duduklah ia di sana. Adapun yang seorang lagi duduk di belakang mereka. Sementara itu orang yang ketiga, telah pergi. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai, beliau bersabda: Tidak inginkah kalian aku beritahukan tentang ketiga orang tadi? Seorang di antara mereka telah berlindung kepada Allah, maka Allah memberikan perlindungan kepadanya. Sedangkan yang lain malu, maka Allah pun malu kepadanya. Adapun orang yang ketiga ia telah berpaling, maka Allah pun berpaling darinya
8.Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak membiarkan bagian tubuh beliau yang terbuka sehingga ketika salah serorang sahabat beliau menemui beliau, beliau sehgera merapikan pakaian beliau, gambar ini diriwayatkan dalam hadits berikut ini :
صحيح مسلم ٤٤١٤: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَاإِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ عَطَاءٍ وَسُلَيْمَانَ ابْنَيْ يَسَارٍ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِفَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَلِكَ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَوَّى ثِيَابَهُ قَالَ مُحَمَّدٌ وَلَاأَقُولُ ذَلِكَ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّدَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ فَقَالَ أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ
Shahih Muslim 4414: bahwa 'Aisyah berkata; 'Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Lalu Umar bin Khaththab datang dan meminta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Kemudian Utsman bin Affan datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan pakaiannya. Muhammad berkata; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang sama. Lalu Utsman masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai hal. Setelah Utsman keluar dari rumah, Aisyah bertanva; "Ya Rasulullah, tadi ketika Abu Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya. Kemudian ketika Umar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika Utsman bin Affan datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan langsung mengambil posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau. Sebenarnya ada apa dengan hal ini semua ya Rasulullah'?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Hai Aisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang para malaikat saja merasa malu kepadanya
9.Allah subhana wa ta’ala merasa malu sebagaimana hadits berikut ini :
سنن أبي داوود ١٢٧٣: حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ حَدَّثَنَا عِيسَى يَعْنِي ابْنَ يُونُسَ حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ يَعْنِي ابْنَ مَيْمُونٍ صَاحِبَ الْأَنْمَاطِحَدَّثَنِي أَبُو عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
Sunan Abu Daud 1273: dari Salman, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Maha Suci dan Maha Tinggi adalah Maha Hidup dan Mulia, Dia merasa malu dari hambanya apabila ia mengangkat kedua tanganya kepadaNya dan mengembalikannya dalam keadaan kosong."
10. Sebagai hamba Allah seharusnya seseorang memiliki rasa malu. Sesuai dengan yang diperintahkan Rasulullah shalallahu alai’hi wa sallam :
سنن أبي داوود ٣٤٩٧: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نُفَيْلٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ الْعَرْزَمِيِّ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ يَعْلَى
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ بِلَا إِزَارٍ فَصَعَدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِي خَلَفٍ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْصَفْوَانَ بْنِ يَعْلَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ أَبُو دَاوُد الْأَوَّلُ أَتَمُّ
Sunan Abu Daud 3497: dari Ya'la, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki mandi di tanah lapang tanpa memakai sarung. Kemudian beliau naik mimbar, lalu memuji Allah dan bersabda: "Sesungguhnya Allah 'azza wajalla Maha Pemalu dan Tertutup, Dia menyukai sifat malu dan tertutup. Apabila salah seorang di antara kalian mandi, maka hendaknya ia menutupi dirinya."
11. Sebagai sesama manusia seharusnya satu sama lain saling memiliki rasa malu dengan dilarangnya melihat aurat satu sama lainnya sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam hadits :
سنن أبي داوود ٣٥٠١: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى نَحْوَهُ عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْجَدِّهِ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَالْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَامِنْهُ مِنْ النَّاسِ
Sunan Abu Daud 3501:, dari Bahz bin Hakim dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, tentang aurat kami, siapakah yang boleh kami perlihatkan dan siapa yang tidak boleh?" beliau menjawab: "Jagalah auratmu kecuali kepada isteri atau budak yang kamu miliki." Ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan suatu kaum saling bercampur dalam satu tempat (yang mereka saling melihat aurat antara satu dengan yang lain)?" beliau menjawab: "Jika kamu mampu, maka jangan sampai ada seorang pun yang melihatnya." Ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang dari kami sedang sendiri?" beliau menjawab: "Allah lebih berhak untuk kamu malu darinya dari pada manusia."
12.Sifat malu merupakan bagian dari iman dan tempatnya disurga sedangkan perkataan keji dari watak yang keras itu tempatnya dineraka sebagaimana hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ١٩٣٢: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ وَعَبْدُ الرَّحِيمِ وَمُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَالْبَذَاءُ مِنْ الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَأَبِي بَكْرَةَ وَأَبِي أُمَامَةَ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Tirmidzi 1932: dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sifat malu adalah bagian dari iman, sedangkan iman itu tempatnya di dalam surga. Perkataan yang keji itu berasal dari watak dan perangai yang keras, sedangkan kekerasan itu tempatnya di dalam neraka." Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Bakrah, Abu Umamah, Imran bin Husain. Hadits ini adalah hasan shahih.
13. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan agar malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana sabda beliau :
• سنن الترمذي ٢٣٨٢: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبَانَ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ
Sunan Tirmidzi 2382: dari Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Malulah pada Allah dengan sebenarnya." Berkata Ibnu Mas'ud: Kami berkata: Wahai Rasulullah, kami malu, alhamdulillah. Beliau bersabda: "Bukan itu, tapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah kau menjaga kepala dan apa yang difahami dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala kemusnahan, barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukannya, ia malu kepada Allah dengan sebenarnya." Berkata Abu Isa: Hadits ini gharib, kami hanya mengetahuinya dari jalur sanad ini dari hadits Abban bin Ishaq dari Ash Shabbah bin Muhammad.
14.S ifat malu yang dimiliki seseorang akan menghiasi dirinya sebagaimana hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ١٨٩٧: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ وَمَا كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ
وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ
Sunan Tirmidzi 1897: dari Tsabit dari Anas ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah sifat buruk berada dalam sesuatu kecuali akan memperburuknya, dan tidaklah sifat malu ada dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya." Berkata Abu Isa: Ini merupakan hadits Hasan Gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari haditsnya Abdurrazzaq.
15.Malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala lebih layak daripada malu kepada sesama manusia, hal ini ditegaskan dalam hadits :
سنن الترمذي ٢٧١٨: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ وَيَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَا حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَاهَا قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Sunan Tirmidzi 2718:telah menceritakan kepada kami Bahz bin Hakim dari Ayahnya dari kakeknya ia berkata; Aku be rkata; "Wahai Nabiyullah, manakah aurat kami yang harus kami tutupi dan yang kami biarkan terbuka?" Beliau menjawab: "Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu." Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, bila dengan sejenis?" Beliau menjawab: "Bila kau mampu agar tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka jangan sampai ia melihatnya." Aku berkata; "Wahai nabiyullah, bila salah seorang dari kami sendirian?" Beliau menjawab: "Hendaknya ia lebih layak untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan.
16 Nabi Musa alaihi wa sallam adalah orang yang amat pemalu sebagaimana hadits sebagai berikut :
سنن الترمذي ٣١٤٥: حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ عَنْ عَوْفٍ عَنْ الْحَسَنِ وَمُحَمَّدٍ وَخِلَاسٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ رَجُلًا حَيِيًّا سَتِيرًا مَا يُرَى مِنْ جِلْدِهِ شَيْءٌ اسْتِحْيَاءً مِنْهُ فَآذَاهُ مَنْ آذَاهُ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَقَالُوا مَا يَسْتَتِرُ هَذَا التَّسَتُّرَ إِلَّا مِنْ عَيْبٍ بِجِلْدِهِ إِمَّا بَرَصٌ وَإِمَّا أُدْرَةٌ وَإِمَّا آفَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَرَادَ أَنْ يُبَرِّئَهُ مِمَّا قَالُوا وَإِنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام خَلَا يَوْمًا وَحْدَهُ فَوَضَعَ ثِيَابَهُ عَلَى حَجَرٍ ثُمَّ اغْتَسَلَ فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ إِلَى ثِيَابِهِ لِيَأْخُذَهَا وَإِنَّ الْحَجَرَ عَدَا بِثَوْبِهِ فَأَخَذَ مُوسَى عَصَاهُ فَطَلَبَ الْحَجَرَ فَجَعَلَ يَقُولُ ثَوْبِي حَجَرُ ثَوْبِي حَجَرُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَرَأَوْهُ عُرْيَانًا أَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًا وَأَبْرَأَهُ مِمَّا كَانُوا يَقُولُونَ قَالَ وَقَامَ الْحَجَرُ فَأَخَذَ ثَوْبَهُ وَلَبِسَهُ وَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا بِعَصَاهُ فَوَاللَّهِ إِنَّ بِالْحَجَرِ لَنَدَبًا مِنْ أَثَرِ عَصَاهُ ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا أَوْ خَمْسًا فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا }
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِيهِ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sunan Tirmidzi 3145: s dari Abu Hurairah dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bahwa Musa 'alaihis salam adalah orang yang amat pemalu dan menutup, tidak ada kulitnya yang terlihat sedikit pun karena malu. Lalu Bani Isra`il menyakitinya, mereka berkata: Tidaklah ia mengenakan penutup seperti ini kecuali pasti karena cacat yang ada pada kulitnya, mungkin belang, cacat atau penyakit lain. Allah 'azza wajalla hendak membebaskan Musa dari ucapan mereka. Pada suatu hari, Musa 'alaihis salam menyendiri, ia meletakkan bajunya di atas batu lalu mandi, seusai mandi, Musa menghampiri bajunya untuk diambil, ternyata batu itu membawa pergi bajunya lalu Musa mengambil tongkatnya kemudian mencari batu itu seraya berkata: Bajuku, hai batu, bajuku, hai batu. Hingga ia sampai ke sekumpulan orang dari Bani Israil, mereka melihatnya dalam keadaan telanjang dan ia adalah manusia yang paling baik bentuk fisiknya. Allah membebaskannya dari ucapan-ucapan mereka." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Batu itu berhenti lalu Musa mengambil bajunya dan mengenakannya lalu ia memukul batu itu dengan tongkatnya. Demi Allah di batu itu ada bekas akibat pukulan tongkatnya sebanyak tiga, empat atau lima bekas. Itulah firman Allah Ta'ala: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (Al Ahzaab: 59) Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. Hadits ini juga diriwayatkan melalui sanad lain dari Abu Hurairah dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam. Dalam hal ini ada hadits serupa dari Anas dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam.
16. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam melarang mandi ditempat terbuka sesuai dengan sabda beliau :
سنن النسائي ٤٠٣: أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ حَدَّثَنَا النُّفَيْلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ يَعْلَى
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَلِيمٌ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
Sunan Nasa'i 403: dari Ya'la bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. melihat seorang laki-laki sedang mandi di tanah lapang, maka beliau naik ke atas mimbar lalu memuji Allah, kemudian bersabda: "Allah Azza wa Jalla Maha Murah Hati, Maha Malu, dan Maha Tertutup. Dan cinta terhadap rasa malu dan tertutup. Apabila salah seorang dari kalian mandi, hendaklah memasang penutup."
Malulah Kepada Allah dan Pada Sesama Manusia !
Dari berbagai kitab disebutkan bahwa para ulama membagi malu itu menjadi dua bagian, yaitu masing-masing :
.P e r t a m a : Rasa malu kepada Allah.
Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Dalam hal ini orang tersebut memiliki rasa muraqabah, yaitu yang bersangkutan merasa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu dimana Allah yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dan akhlak yang mulia.
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya,;
Sunan Tirmidzi 2382: dari Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Malulah pada Allah dengan sebenarnya." Berkata Ibnu Mas'ud: Kami berkata: Wahai Rasulullah, kami malu, alhamdulillah. Beliau bersabda: "Bukan itu, tapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah kau menjaga kepala dan apa yang difahami dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala kemusnahan, barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukannya, ia malu kepada Allah dengan sebenarnya." Berkata Abu Isa: Hadits ini gharib, kami hanya mengetahuinya dari jalur sanad ini dari hadits Abban bin Ishaq dari Ash Shabbah bin Muhammad.
Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
.Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٤٨: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
{ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ }
الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Bukhari 48: dari Abu Hurairah berkata; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang Malaikat Jibril 'Alaihis Salam yang kemudian bertanya: "Apakah iman itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari berbangkit". (Jibril 'Alaihis salam) berkata: "Apakah Islam itu?" Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Islam adalah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadlan". (Jibril 'Alaihis salam) berkata: "Apakah ihsan itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu". (Jibril 'Alaihis salam) berkata lagi: "Kapan terjadinya hari kiamat?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi aku akan terangkan tanda-tandanya; (yaitu); jika seorang budak telah melahirkan tuannya, jika para penggembala unta yang berkulit hitam berlomba-lomba membangun gedung-gedung selama lima masa, yang tidak diketahui lamanya kecuali oleh Allah". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca: "Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari kiamat" (QS. Luqman: 34). Setelah itu Jibril 'Alaihis salam pergi, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "hadapkan dia ke sini." Tetapi para sahabat tidak melihat sesuatupun, maka Nabi bersabda; "Dia adalah Malaikat Jibril datang kepada manusia untuk mengajarkan agama mereka." Abu Abdullah berkata: "Semua hal yang diterangkan Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dijadikan sebagai iman
K e d u a : Rasa malu dengan sesama manusia.
Dalam hal ini seseorang merasa malu terhadap orang lain apabila ia melakukan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau yang dimana orang banyak menganggap perbutan tersebut sebagai sesuatu yang tidak lazim. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai
Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.
Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman.
سنن أبي داوود ٤١٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
Sunan Abu Daud 4164: dari Abu Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, 'Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu'
Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603
Selain rasa malu kepada Allah “azza wajalla dan malu kepada sesama manusia , para ulama ada pula yang mengemukakan bahwa ada dua macam malu yang ada dalam diri setiap manusia, yaitu :
Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang yang Allah subahanahu ta’ala anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang penting, dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan, karena dia pemalu.
Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya, seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka. Malu yang bersifat pembawaan itu lebih utama daripada yang kedua ini. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu ‘Utsaimin , hal. 234)
Sifat malu ini mendapatkan pujian dalam syariat Islam. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam sabdanya yang disampaikan oleh ‘Imran bin Hushain radhyallahu’anhum :
صحيح البخاري ٥٦٥٢: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ سَكِينَةً فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Shahih Bukhari 5652: dari Abu As Sawwar Al 'Adawi dia berkata; saya mendengar 'Imran bin Hushain berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan." Maka Busyair bin Ka'b berkata; "Telah tertulis dalam hikmah, sesungguhnya dari sifat malu itu terdapat ketenangan, sesungguhnya dari sifat malu itu terdapat ketentraman." Maka Imran berkata kepadanya; "Aku menceritakan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sementara kamu menceritakan kepadaku dari catatanmu."
Bahkan beliau shalallahu’alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena rasa malu yang dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin Umar radhyallahu’anhuma:
صحيح البخاري ٥٦٥٣: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ يَقُولُ إِنَّكَ لَتَسْتَحْيِي حَتَّى كَأَنَّهُ يَقُولُ قَدْ أَضَرَّ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Bukhari 5653: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Salamah telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Salim dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki yang tengah mencela saudaranya karena malu, kata laki-laki itu; "Sesungguhnya kamu selalu malu hingga hal itu akan membahayakan bagimu." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah ia, karena sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari iman."
Abu Hurairah radhyallahu’anhuma pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
صحيح مسلم ٥١: حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Muslim 51: dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA ILLALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman."
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)
Abdullah bin ‘Umar radhyallahu’anhuma pernah mengatakan:
“Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1313, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih)
Dampak Hilangnya Rasa Malu Dalam Diri
Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk’
Setiap orang mempunyai rasa malu, entah besar ataupun kecil. Malu itu merupakan kekuatan preventif (pencegahan) guna menghindarkan diri dalam kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Untuk hal itu dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam diriwayatkan :
سنن أبي داوود ٤١٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
Sunan Abu Daud 4164: dari Abu Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, 'Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu'."
Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah luntur bahkan mungkin hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti mencuri yang termasuk di dalamnya korupsi, , menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang seksi dan mini, berzina, mabuk-mabukan, pembajakan, pelecehan seksual, dan pembunuhan. Mereka sudah dikuasai oleh nafsu serakah. Orang yang sudah dikuasai nafsu serakah dan tidak ada lagi rasa malu dalam dirinya maka perbuatannya sama dengan perilaku hewan yang tidak punya akal. Berbagai macam kemaksiatan dan kemunkaran merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya sehari-hari. Orang yang kehilangan rasa malu dalam dirinya untuk memuaskan hawa nafsu akan kecintaannya kepada dunia tidak bisa lagi membedakan yang mana haram dan yang mana halal. Bahkan ada diantara orang yang berucap sekarang ini jangankan yang halal, sedangkan yang haram saja sudah sulit diperoleh, nauzubillah minzdalik.
Hilangnya rasa malu pada diri seseorang merupakan awal datangnya bencana pada dirinya. Sebuah hadits menyebutkan :
سنن ابن ماجه ٤٠٤٤: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سِنَانٍ عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ عَنْ أَبِي شَجَرَةَ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ
Sunan Ibnu Majah 4044: dari Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila Allah 'azza wajalla hendak membinasakan seorang hamba maka Dia akan memcabut rasa malu darinya, apabila rasa malu sudah dicabut darinya maka kamu akan mendapatinya dalam keadaan sangat dibenci. Jika kamu tidak mendapatinya melainkan dalam keadaan sangat dibenci, maka akan dicabut amanah darinya, apabila amanah telah dicabut darinya, maka kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan menipu dan tertipu. Apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan menipu dan tertipu, maka akan dicabut darinya sifat kasih sayang, dan apabila dicabut darinya kasih sayang, kamu tidak akan menjumpainya kecuali dalam keadaan terlaknat lagi terusir, dan apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan terlaknat lagi terusir, maka akan dicabut darinya ikatan Islam.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan :
صحيح مسلم ٥٠: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Muslim 50: dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh lebih cabang, dan malu adalah termasuk iman."
Hilangnya rasa malu, berarti mulai menipisnya rasa keimanan dalam dirinya. Dan, jika keimanan sudah semakin hilang, perbuatannya akan jauh dari rida Allah subhanahu wa ta’ala .
Setiap orang mempunyai rasa malu, entah besar ataupun kecil. Malu itu merupakan kekuatan preventif (pencegahan) guna menghindarkan diri dalam kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia tidak hanya akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, tetapi yang lebih parah lagi yang bersangkutan akan meninggalkan keta’atannya kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, ia tidak lagi pernah memperhatikan kewajiban ibadah yang diperintahkan syari’at seperti shalat fardhu dan puasa bulan ramadhan , apalagi ibadah-ibadah sunnah lainnya. Sungguh mereka-mereka yang berbuat seperti itu termasuk kedalam kelompok yang tidak mempunyai rasa malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang-orang yang telah luntur rasa malunya atau bahkan kehilangan rasa malunya dalam dirinya sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu memperturutkan ajakan dan godaan hawa nafsu yang diperkuat oleh bisikan rayuan syaitan, dimana hawa nafsu yang telah menjadi raja dalam sanubari seseorang selalu minta dipuaskan tanpa memperdulikan dan memperhitungkan lagi ujung perjalanan hidupnya. Mereka-mereka seperti itu apabila tidak segera menyadarinya, tidak bersegera untuk bertaubat niscaya nerakalah tempat mereka kembali, kecuali Allah berkehendak lain.
Hilangnya rasa malu dalam diri kebanyakan orang merupakan penyebab dari kehancuran iman, karenanya apabila dibiarkan berlarut-larut tanpa disadari oleh mereka maka ujung-ujungnya berakhir pada kemurkaan Allah ‘aazza wa jalla , karenanya sebelum terlambat maka seyogyanya setiap diri perlu melakukan muhasabah (evaluasi terhadap diri ) untuk melihat apakah dirinya masih mempunyai rasa malu atau sudah luntur dan mungkin hilang samasekali. Akan hal ini segeralah bertaubat menuju ampunan Allah Yang Maha Pengampun ( Wallahu ta’ala ‘alam bish –shawab ).
Referensi :1. Al-Qur’an dan Terjemahan, Software Salafi DB
2. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, Software Lidwa Pusaka
3. Ayat-ayat Larangan dan Perintah Dalam Al-Qur’an, KH Qamaruddin dkk
4. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi
5. Ihya Alumiddin
6.Tazkiyatun Nafs, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
7. Shahih Fadhail A’mal, Syaikh Ali bin Muhammad al-Maghribi
8. Madarijus Salikin, Ibnu Qaiyim Al-Jauziyah
9. Artikel Muslim Or.id
10. Artikel Asy-Ariyah on line
11.Artikel Stimik Amikom`
Tepian Mahakam, diselesaikan ba’da zuhur, Kamis 2 Rabiul Awal 1433 H / 26Januari 2012
( O l e h : Abu Farani al-Banjari )
kemerosotan akhlak juga menjadikan sumber daya manusia melemah.
BalasHapusklik link ini untuk tambahan informasi:
http://arsamuhammad.blogspot.com/2012/11/hilangnya-akhlak-menjadikan-sumber-daya.html