Setiap orang yang melakukan ibadah haji atau umrah dapat
dipastikan berkunjung ke Madinah,
dimana selain melakukan ibadah shalat di Masjid Nabawi juga diajak mendatangi beberapa tempat untuk berjiarah
antara lain kompleks pekuburan yang terkenal yaitu Baqi’. Semua pejiarah pasti
melihat bagaimana kondisi diareal kuburan tersebut yang nampaknya hanyalah
hamparan lahan kosong yang diatasnya berserakan hanyalah bongkahan batu-batu dan
samasekali tidak menggambarkan sebagai kompleks pekuburan sebagaimana
layaknya di Indonesia atau negeri-negeri Islam lainnya. Padalah di kompleks
kuburan Baqi’ tersebut dimakamkan hampir seluruh kerabat dekat dan sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam, banyak para tabi’in, banyak para
tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama besar Madinah lainnya. Dimana jasa-jasa mereka
sangat besar terhadap dunia Islam.
Mari kita tengok seluruh kompleks kuburan kaum muslim di negeri
kita dari pelosok-pelosok sampai ke kota-kota, nampak jauh sekali perbedaanya
dengan kompleks kuburan Baqi’ di Madinah dan kompleks kuburan Ma’la di Makkah.
Kuburan-kuburan di negeri ini dibangun sedemikian rupa, bahkan sepertinya
setiap keluarga berlomba-lomba membangun dan membaguskan, memperindah kuburan
para keluarganya. Semakin tinggi status kedudukan orang yang meninggal dan
semakin kaya maka semakin bagus pula
kuburannya. Bahkan apabila yang dikuburkan tersebut dianggap sebagai ulama
besar atau tuan guru atau kiayi atau yang dianggap sebagai wali kemudian
dikramatkan, maka diatas kuburannya dibangunkan kubah atau bangunan yang
sekaligus tempat orang berjiarah sambil berdoa dan membaca ayat-ayat al-Qur’an.
Karena membandingkan kondisi kompleks kuburan Baqi’ dan Ma’la
dan kompleks kuburan rata-rata diseluruh negeri Saudi Arabia dengan kuburan
yang ada dinegeri ini , seseorang pernah
melontarkan ucapan yang menyebutkan bahwa masyarakat muslim di wilayah Saudi
Arabia sungguh sangat keterlaluan karena tidak pernah menghargai dan
menghormati orang-orang yang telah meninggal dunia sehingga kuburan mereka
hanya ditandai dengan hanya sebongkah batu, sangat berbeda dengan masyarakat
muslim di Indonesia . Semiskin apapun keluarga yang meninggal, mereka pasti
membuatkan minimal nisan baik dari kayu ataupun batu.
Perkataan mereka tersebut diatas sungguh sangat jahil, karena
ketidak tahuan banyak kaum muslimin
dinegeri ini tentang syari’at Islam, sehingga sampai-sampai soal kuburan saja
mereka tidak tahu bahwa sebenarnya telah ada petunjuk dari syari’at melalui
hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tentang tata cara bagaimana
seharusnya kuburan itu .
Abul-jauzaa’dalam sebuah artikelnya mengemukakan sebagai berikut :
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ،وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan
dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan
oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy
no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166,
‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu
Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad
Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410
& 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191
no. 2057 dan dalam Al-Ausath6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu
Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr
Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.
Asal dari larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi
dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu –
nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang
sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ:
قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا
بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ
تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj
Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah
engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau
hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu
ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy
no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Larangan membangun kubur
ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah,
maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة
والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ......
وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika
kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen,
karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah
tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat
kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat
sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah,
dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan
tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika
mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata
:
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً
كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut
terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di
atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya
ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab
Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy
‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia
berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ
وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ
الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari
Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun
masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya
ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’,
5/316].
Adapun madzhab
Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا
شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ
نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang
syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan
mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya
kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no.
257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin
Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ
اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ
بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di
atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat
membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas
kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar,
6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah,
maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ
عَلَيْهَا
“Aku membenci
mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah,
1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang
berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء
عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid
di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang
lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir
Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما
روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن
يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن
صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan
yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya,
berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki,
dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan
menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu
semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy,
2/382].
Juga Al-Bahuutiy
Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث
أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم
مساجد. متفق عليه
“Dan diharamkan
menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu
Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka
sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’,
3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang
berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ،
عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ
لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ
أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas
kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab
(Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak.
Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan
: Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf,
2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah,
maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى
الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ,
وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan
tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu
pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti
dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Dari ulasan tersebut
diatas maka ternyata hampir seluruh kuburan muslimin yang ada di negeri ini
sudah sangat menyalahi dan jauh menyimpang
dari apa yang disyari’atkan oleh Islam. Sehingga untuk itu kewajiban
bagi kita untuk memperbaiki diri dalam masalah kuburan ini agar sesuai dengan
tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang menjadi panutan
kita. ( Wallahu’alam )
Diselesaikan ba’da ashar, arba 30 Rajab 1433 H/ 20 Juni
2012
By : Abu Farabi al- Banjari
Sumber : Blog Abul- Jauza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar