Senin, 24 Desember 2012

HAJATAN/KENDURI DENGAN NASI TUMPENG MENGIKUTI TRADISI LELUHUR YANG JAHILIYAH



P e n d a h u l u a n
Dewasa ini di seluruh penjuru negeri yang mayoritas penghuninya adalah penganut Islam telah memberikan  perhatian dan kedudukan yang khusus dan istimewa terhadap nasi tumpeng. Coba perhatikan hampir pada setiap acara yang dilakukan baik oleh kalangan atas, menengah maupun dilingkungan masyarakat awam, baik dilingkungan organisasi apa saja, di lingkungan instansi pemerintah, perusahaan atau secara perorangan  tidak pernah ketinggalan menyediakan yang namanya nasi tumpeng. Nasi tumpeng telah menjadi ikon dalam berbagai acara yang berkaitan dengan hajatan, kenduri, syukuran, ulang tahun, berbagai macam acara peletakan batu pertama atau peresmian proyek-proyek yang biasanya ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng. Begitu pula pada dilakukannya upacara adat baik berupa pesta sedekah laut dan sedekah bumi. Pihak penyelenggara acara merasa bahwa tidaklah lengkap sebuah acara apabila tidak tersedia nasi tumpeng. Sehingga banyak orang selalu berusaha menyediakan nasi tumpeng sebnagai hal yang utama.
Tidak dilupakannya menyediakan nasi tumpeng dalam berbagai ragam acara, dikarenakan nasi tumpeng di kalangan masyarakat tertentu nasi tumpeng dianggap mempunyai keutamaan dan mengandung berkah. Karenanya mereka beranggapan bahwa dengan menyediakan nasi tumpeng agar acara yang diselenggarakan akan memberikan kebaikan bagi mereka.
Selain mengandung keutamaan berupa keberkahan, disediakannya nasi tumpeng dalam berbagai acara adalah dalam rangka mewujudkan rasa syukur kepada yang Maha Pencipta atas segala macam nikmat yang diberikan kepada manusia. Sebagai rasa terimakasih atas segala pemberian dari Maha Pencipta tersebut maka oleh manusia dibuktikan dengan menyediakan nasi tumpeng.
Berkaitan dengan perwujudan rasa syukur melalui nasi tumpeng ini, maka kiranya perlu dikritisi bagaimana syari’at Islam memandangnya,apakah hal semacam ini sejalan dengan syari’at yaitu Kitabullah dan as-Sunnah Rasullullah. Karena sebagaimana yang kita maklumi bahwa mereka-mereka yang menganggap bahwa nasi tumpeng yang disajikan dalam acara-acara hajatan,kenduri atau syukuran sebagian terbesar adalah dari kalangan masyarakat Islam.
Sepintas Kilas Tentang Nasi Tumpeng
Dalam Wikipedia Indonesia disebutkan bahwa :  Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai 'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi 'tumpengan' pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Bersyukur Menurut Syari’at
 “Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur adalah berterima kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244)
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (QS. Al Qashash: 28)
Syukur adalah salah satu sifat Allah
Ketahuilah bahwa syukur merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang husna. Yaitu Allah pasti akan membalas setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tanpa luput satu orang pun dan tanpa terlewat satu amalan pun. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Sesungguhnya Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy Syura: 23)
Seorang ahli tafsir, Imam Abu Jarir Ath Thabari, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah: “Ghafur artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya Maha Pembalas Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath Thabari, 21/531)
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
Allah itu Syakur lagi Haliim” (QS. At Taghabun: 17)
Ibnu Katsir menafsirkan Syakur dalam ayat ini: “Maksudnya adalah memberi membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 8/141)
Sehingga orang yang merenungi bahwa Allah adalah Maha Pembalas Kebaikan, dari Rabb kepada Hamba-Nya, ia akan menyadari bahwa tentu lebih layak lagi seorang hamba bersyukur kepada Rabb-Nya atas begitu banyak nikmat yang ia terima.
Syukur adalah ibadah
Allah Ta’ala dalam banyak ayat di dalam Al Qur’an memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar” (QS. Al Baqarah: 152)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (QS. Al Baqarah: 172).
Maka bersyukur adalah menjalankan perintah Allah dan enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.
Tanda-tanda orang yang bersyukur
1. Mengakui dan menyadari bahwa Allah telah memberinya nikmat
Orang yang bersyukur senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala. Ia senantiasa menyadari bahwa hanya atas takdir dan rahmat Allah semata lah nikmat tersebut bisa diperoleh. Sedangkan orang yang kufur nikmat senantiasa lupa akan hal ini.
فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: مطر الناس على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : «أصبح من الناس شاكر ومنهم كافر، قالوا: هذه رحمة الله. وقال بعضهم: لقد صدق نوء كذا وكذا»
“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda: ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata: ‘Inilah rahmat Allah’. Orang yang kufur nikmat berkata: ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.243)
2. Menyebut-nyebut nikmat yang diberikan Allah
sesungguhnya orang yang bersyukur itu lebih sering menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah berikan. Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh Dhuha: 11)
3. Menunjukkan rasa syukur dalam bentuk ketaatan kepada Allah
Sungguh aneh jika ada orang yang mengaku bersyukur, ia menyadari segala yang ia miliki semata-mata atas keluasan rahmat Allah, namun di sisi lain melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya, ia enggan shalat, enggan belajar agama, enggan berzakat, memakan riba, dll. Jauh antara pengakuan dan kenyataan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Al Imran: 123)
Maka rasa syukur itu ditunjukkan dengan ketakwaan.
Cara-Cara Menunjukkan kesyukuran
1.Berterima kasih kepada manusia
Salah cara untuk mensyukuri nikmat Allah adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Oleh karena itu, mengucapkan terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صنع إليه معروف فقال لفاعله: جزاك الله خيرا فقد أبلغ في الثناء
“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: ‘Jazaakallahu khayr’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya” (HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata: “Hadits ini hasan jayyid gharib”)
2. Merenungkan nikmat-nikmat Allah
Dalam Al Qur’an sering kali Allah menggugah hati manusia bahwa banyak sekali nikmat yang Ia limpahkan sejak kita datang ke dunia ini, agar kita sadar dan bersyukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl: 78)
3. Qana’ah
Senantiasa merasa cukup atas nikmat yang ada pada diri kita membuat kita selalu bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, orang yang senantiasa merasa tidak puas, merasa kekurangan, ia merasa Allah tidak pernah memberi kenikmatan kepadanya sedikitpun. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كن ورعا تكن أعبد الناس ، و كن قنعا تكن أشكر الناس
“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur” (HR. Ibnu Majah no. 4357, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
4. Sujud Syukur
Salah satu cara untuk mengungkapkan rasa syukur ketika mendapat kenikmatan yang begitu besar adalah dengan melakukan sujud syukur.
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه أمر بشر به خر ساجدا؛ شاكرا لله [أبو داود]
“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits Radhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggemberikan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah” (HR. Abu Daud no.2776, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil)
5. Berdzikir
Berdzikir dan memuji Allah adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Ada beberapa dzikir tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah khusus mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
«من قال حين يصبح: اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك، فلك الحمد ولك الشكر. فقد أدى شكر يومه، ومن قال ذلك حين يمسي فقد أدى شكر ليلته» [أبو داود]
“Barangsiapa pada pagi hari berdzikir: Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.”
(Ya Allah, atas nikmat yang Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu)
Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur.” (HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin)
Mewujudkan Syukur Dengan Nasi Tumpeng Cara bersyukur yang salah
Ritualiasasi rasa syukur yang tidak diajarkan agama.Mengungkapkan rasa syukur dalam bentuk ritual sah-sah saja selama ritual tersebut diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Misalnya dengan sujud syukur atau dengan melafalkan dzikir. Andaikan ada bentuk lain ritual rasa syukur yang baik untuk dilakukan tentu sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabat.
Lebih lagi sahabat Nabi yang paling fasih dalam urusan agama, paling bersyukur diantara ummat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mereka jumlahnya puluhan ribu dan diantara mereka ada yang masih hidup satu abad setelah Rasulullah wafat, sebanyak dan selama itu tidak ada seorang pun yang terpikir untuk membuat ritual semacam perayaan hari ulang tahun, ulang tahun pernikahan, syukuran rumah baru, sebagai bentuk rasa syukur mereka. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan amalan (ibadah) yang tidak berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Bukhari no.20, Muslim no.4590)
Mengingat  bahwa bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah bagian dari agama yang telah diatur dalam syari’at, maka untuk mewujudkan rasa syukur tersebut tidak dibolehkan dengan mengada-adakan kegiatan lain seperti menyelenggarakan hajatan syukuran selamatan dengan menyiapkan nasi tumpeng sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam selama ini. Menyiapkan nasi tumpeng kemudian memotongnya sebagfai wujud rasa syukur kjepoada Allah azza wa jalla adalah perbuatan bid’ah, karena tidak ada satupun hadits yang mau’du, dhaif apalagi yang shahih yang membicarakan hal tentang  syukuran dengan nasi tumpeng. Baik Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam, para sahabat radhyallahu’anhu, para tabi’in rahimahullah maupun para tabi’ut tabi’in serta para ulama shalaf (terdahulu) samasekali tidak pernah melakukannya.
Mewujudkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyiapkan nasi tumpeng  baru dilakukan beberapa waktu terakhir ini, dan ini merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang dalam agama.
Mewujudkan Rasa  Syukur Dengan Nasi Tumpeng Perbuatan Tasyabbuh (Mengikuti) Tradisi Leluhur Yang Jahiliyah.
Dibagian awal dikemukan tentang asal usul dari nasi tumpeng yang dikutip dari Wikipedia Indonesia yang menyebutkan bahwa tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Menurut tradisi masyarakat  Jawa, bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sesungguhnya sebelum masuknya Islam yang mengajak kepada tauhid mengesakan Allah, masyarakat Indonesia jaman dahulu adalah masyarakat yang menganut kepada kepercayaan animisme dan dinamisme yang kesemuanya adalah sebagai masyarakat jahiliyah. Karenanya, maka tradisi sajian  nasi tumpeng dalam rangka mewujudkan kesyukuran kepada dewa-dewi yang dianggap sebagai sang pencipta dan yang berkuasa merupakan tradisinya masyarakat jahiliyah.
Lalu bagaimanakah dengan perilaku sebagian masyarakat di negeri ini yang dalam setiap acara apa saja tidak pernah lupa menyajikan nasi tumpeng dengan dalih melestarikan dan mempertahankan  budaya warisan leluhur. Apa yang dilakukan mereka tersebut tidak lain adalah sebagai perbuatan meniru-niru, menyerupai,menyamai dan mengikuti ( tasyabbuh) terhadap masyarakat jahiliyah yang syirik.
Islam Melarang Umatnya untuk Meniru-niru, Mencontoh, Menyerupai, Mengikuti, dan Menyamai Umat Lain ( Tasyabbuh)
Bahwa sesungguhnya Islam dengan seluruhnya syari’atnya sudah sempurna dan sangat lengkap untuk dijadikan panduan atau tuntunan  oleh pemeluknya sampai-sampai hal yang sangat sepele tentang adab buang air saja sudah diajarkan. Karena sudah lengkap sudah barang tentu tidak boleh ada lagi tambahan-tambahan yang datangnya dari mana saja, termasuk tentunya mencontoh atau meniru-niru dari agama lain. Kalau memang tidak ada petunjuknya maka berarti itu memang tidak dibolehkan untuk dilakukan.
Sikap meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :
Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٣١٩٧: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Shahih Bukhari 3197: dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lobang biawak kalian pasti akan mengikutinya". Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?". Beliau menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka) ".
Sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
Shahih Bukhari 6774: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari kiamat tidak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?" Nabi menjawab: "Manusia mana lagi selain mereka itu?"
Dalam buku Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fiqih Islam oleh Syaikh  Jamil bin Habib Al- Luwaihiq  disebutkan   bahwa: Ketika Islam melarang umatnya untuk bertasyabbuh memang telah disengaja oleh Penetap Syariat. Harapannya adalah agar setiap muslim tampil dengankondisi yang paling sempurna sesuai dengan dirinya. Hukum-hukum syari’at juga telah muncul dengan larangan untuk mengikuti bangsa bangsa kafir terdahulu dan terkini.
Tasyabbuh (latah, meniru-niru, menyerupai, mirip) secara umum adalah salah satu permasalahan yang sangat berbahaya bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan ini karena meluasnya daerah interaksi kaum muslimin dengan pihak-pihak lain.
Dalam bukunya Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad Bin ‘Ali Adh Dhabi’i menyebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar,ia berkata bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam  bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Dari penjelasan yang rinci tersebut diatas maka sesungguhnya melakukan syukuran atau hajatan dan banyak acara yang dilakukan oleh banyak orang islam dewasa ini dengan menyajikan nasi tumpeng termasuk perbuatan yang dilarang dan harus ditinggalkan. Sangatlah keliru dengan dalih mempertahankan dan melestarikan tradisi dan budaya leluhur namun terpaksa melakukan perbuatan syirik. Dan ini merupakan perbuatan mengorbankan aqidah hanya untuk sekedar agar disebut sebagai masyarakat yang melestarikan budaya.
Penutup
Sesungguhnya segala macam nikmat yang namanya apa saja yang diperoleh dan dirasakan oleh setiap makhluk termasuk di dalamnya manusia baik yang bersifat kecil hingga yang besar seluruhnya adalah pemberian atau anugerah dari Allah yang Maha Pemberi sebagai bentuk dari kasih sayang-Nya. Atas pemberian  dan anugerah tersebut wajib bagi umat manusia untuk mensyukurinya sebagai rasa terimakasih yang tertinggi kepada pemberi nikmat tersebut yakni Allah Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Pencipta.
Rasa terimakasih yang paling tertinggi tersebut diwujudkan dengan melakukan keta’atan kepada Allah berupa pelaklasaan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya dan beribadah hanya kepada-Nya. Selain itu rasa syukur diwujudkan pula dengan menyampaikan pujian dan sanjungan yang paling tinggi yang hanya boleh ditujukan kepada-Nya.
Karenanya sangatlah keliru apa yang dilakukan oleh banyak orang dewasa ini yang mewujudkan rasa syukur dengan nasi tumpeng , perbuatan syukuran seperti hal tersebut adalah perbuatan mengada-ada ( bid’ah) dan juga sekali gus bertasyabbuh (menyerupai, meniru-niru, mengikuti, menyamai) orang-orang/kaum jahiliyah masa lampau, bahkan menjurus kepada perbuatan syirik . Sehingga untuk itu perlu dijauhi dan ditinggalkan.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya.
اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك
Ya Allah aku memohon pertolonganmu agar Engkau menjadikan aku hamba yang senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik
Sumber bacaan :
1. Al-Qur’an dan terjemahan ( Departemen Agama RI)
2. Ensiklopedi hadits Kitab 9 Imam www.lidwapusaka.com
3. Tasyabbuh yang Dilarang Dalam Fiqih Islam Jamil bin Habib Al-Luwaihiq.
4. Bahaya Mengekor non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’i
5. Parasit Aqidah A.D. El.Marzdedeq.
6. Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah.
7. Risalah Bid’ah Abdul Hakim bin Amir Abdat.
8.wikipedia Indonesia
9.Tazkiyatun Nafs Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10.Manajemen Qalbu Ulama Salaf Syaikh DR. Ahmad Farid
Samarinda,selesai disusun menjelang dzuhur, Isnin 10 Safar 1434 H/24 Desember 2012 M
( Musni Japrie )

ISLAM MELARANG UMATNYA MENYAMBUT DAN MERAYAKAN TAHUN BARU KAUM NASRANIE I JANUARI



Silih bergantinya malam dan siang yang secara terus menerus rutin bergilir menjadikan pergantian perhitungan hari ke hari, minggu ke minggu, minggu kebulan dan sampailah kepada hitungan dua belas bulan yang disebut dengan tahun. Dimana dewasa ini kita tinggal menghitung hari saja, priode tahun 2012 Masehi akan segera berakhir, dan akan segera dimasuki priode baru tahun 2013. Pergantian waktu ke waktu tersebut sejalan dengan perputaran bumi diporosnya dan pergerakan matahari mengelilingi bumi.
Dengan silih bergantinya malam dan siang yang secara terus menerus tiada hentinya maka dewasa ini dunia internasional telah berada dipenghujung akhir tahun 2012 dan sebentar lagi akan dimasuki tahun baru 2013, perhitungan kalender yang menggunakan perhitungan perputaran matahari yang lebih dikenal sebagai kalender tahun masehi, yang ditetapkan secara resmi untuk kalender kaum Nasrani pada awalnya oleh seorang kaisar Romawi yang beragama Nasrani dengan mendasarkannya kepada kelahiran Yesus ( nabi Isa Alaihisallam ).
Tinggal menghitung hari saja lagi maka tahun 2012 akan ditinggalkan dan akan segera dimasuki tahun baru pada tgl 1 januari yang dimulai pada pukul 0.00 tengah malam. Karena tahun Masehi merupakan kalender yang berkaitan dengan agama dan termasuk syi’arnya kaum Nasrani, maka sejak jauh-jauh hari kaum Nasrani sudah mempersiapkan acara penyambutannya yang akan digelar secara besar-besaran sebagai tradisi yang sudah ada sejak lama dilingkungan mereka.
Tahun baru Masehi 1 Januari yang digunakan sebagai kalender internasional menyebabkan banyak pihak yang berkepentingan untuk merayakannya dengan pesta-pesta penyambutan seperti tempat-tempat hiburan, hotel-hotel dan tempat-tempat lainnya seperti di taman-taman dan lain sebagainya. Bahkan tidak ketinggalan pula di banyak kampung masing-masing RT juga mengadakan acara penyambutan untuk lingkungan RT mereka. Fenomena seperti ini merupakan realita kehidupan yang senantiasa berulang setiap pergantian tahun. Bahkan dari tahun ke tahun makin bertambah semarak dan makin tidak terkendalikan arusnya. Tahun ini, wallahu a’lam apakah yang akan terjadi dan mewarnai awal tahun baru Masehi di negeri kita ini.
Meskipun sebenarnya aktifitas penyambutan tahun baru Masehi tgl. 1 Januari seharusnya hanya terbatas bagi kaum Nasrani, namun karena dianggap sebagai tahun internasional yang dirayakan seluruh dunia maka banyak kalangan yang beragama Islam yang latah ikut pula menyelenggarakan dan memeriahkannya. Dan mereka sebenarnya tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tersebut dimata syari’at islam sebagai perbuatan yang tercela dan dilarang.
Penyambutan dan Perayaan Tahun Baru Masehi di Tinjau Dari Sudut Syari’at Islam
Sebagai umat islam seluruh sikap hidupnya baik ibadah maupun muamalah haruslah diukur dan ditakar berdasarkan ukuran dan takaran yang diatur oleh syari’at, agar seluruh perjalanan kehidupannya mendapatkan ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga segala sesuatunya harus dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah syari’at, apabila tidak ada rujukannya maka apapun yang diperbuat tertolak dan bahkan akan dikenai sanksi hukum karena dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Karenanya kegiatan penyambutan dan perayaan tahun baru Masehi yang dilakukan oleh individu-individu muslim termasuk kegiatan yang sesungguhnya terlarang menurut syari’at Islam.
Di kalangan kaum muslimin hari besar yang patut dirayakan dan disambut hanyalah yang dikenal dengan hari raya Idul Fitri dan Iedul Adha, sedangkan tahun baru tidak temasuk hari besar yang harus disambut dan dirayakan, jangankan tahun baru Masehi, sedangkan tahun baru islam sendiri yang dalam hal ini jatuh pada setiap tanggal 1 Muharram tidak disambut dan dirayakan, karena tidak ada satupun contoh perbuatan dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam maupun dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta dari para ulama terdahulu. Pada jamannya Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam, jamannya para sahabat, jamannya para tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta jamannya ulama-ulama salaf tidak pernah ada riwayat tentang dilakukannya penyambutan dan perayaan tahun baru 1 Muharram.Tidak ada satupun riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu pernah dilakukan kegiatan keagamaan yang berkaitan dengan penyambutan tahun baru 1 Muharram seperti melakukan dzikir secara berjama’ah di tempat-tempat tertentu ataupun pengajian dengan mendatangkan mubaligh/dai dari tempat lain guna mengisi acara penyambutan tahun baru.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada seluruh umatnya bahwa dalam Islam hanya mengenal dua hari raya sebagaimana sebuah hadis dibawah ini :
عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)
Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :
فوجه الدلالة أن اليومين الجاهليين لم يقرهما رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة، بل قال إن الله قد أبدلكم بهما يومين آخرين، والإبدال من الشيء يقتضي ترك المبدل منه، إذ لا يجمع بين البدل والمبدل منه.
”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.
Begitu kerasnya larangan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bagi umatnya berikatan dengan perayaan hari-hari raya kaum non muslim, sampai-sampai memilih tempat untuk melaksanakan sesuatu kegiatan yang kemungkinan ada hubungannya dengan aktifitas kaum non muslim disana dilarangan oleh beliau. Hal ini digambarkan dalam hadits dibawah ini :
سنن أبي داوود ٢٨٨١: حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَابِتُ بْنُ الضَّحَّاكِ قَالَ
نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ قَالُوا لَا قَالَ هَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ قَالُوا لَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ

Sunan Abu Daud 2881: Telah menceritakan kepada kami Abu Daud bin Rusyid telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Ishaq dari Al Auza'i dari Yahya bin Abu Katsir ia berkata; Abu Qilabah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Tsabit bin Adh Dhahhak ia berkata; seorang laki-laki bernadzar pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Buwanah. Kemudian ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; sesungguhnya saya telah bernadzar untuk menyembelih unta di Buwanah. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apakah padanya terdapat berhala diantara berhala-berhala jahiliyah yang disembah?" Mereka berkata; tidak. Beliau berkata: "Apakah padanya terdapat hari besar diantara hari-hari besar mereka?" Mereka berkata; tidak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Penuhi nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar dalam bermaksiat kepada Allah, dalam perkara yang tidak dimiliki anak Adam."
Hadits ini menunjukkan terlarangnya menyembelih untuk Allah di tempat yang bertepatan dengan tempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah, atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Perbuatan ini juga menyerupai perbuatan mereka dan menjadi sarana yang mengantarkan kepada syirik. Apalagi ikut merayakan hari raya mereka, maka di dalamnya terdapat wala’ (loyalitas) dan dukungan dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Akibat paling berbahaya yang timbul karena berwala’ terhadap orang kafir adalah tumbuhnya rasa cinta dan ikatan batin kepada orang-orang kafir sehingga dapat menghapuskan keimanan.

Mengutip tulisan Ustadz Abu Salma dalam blognya yang berjudul “ Perayaan Tahun Baru Itu Syi’ar Kaum Kufar “ beliau menyebutkan sebagai berikut :peringatan tahun baru (New Year Anniversary) itu merupakan syiar kaum kuffâr. Karena, tidaklah peringatan ini dirayakan, melainkan ia satu paket dengan peringatan natal (christmas). Kita sering lihat dan mendengar, bahwa tahni`ah (ucapan selamat) kaum Nasrani adalah : “Marry Christmas and Happy New Year”, “Selamat Natal dan Tahun Baru”. Namun, tunggu dulu. Tidak itu saja… Ternyata kaum pagan Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus.Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun. ‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi.Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imâm an-Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arob dan al-Muqrizî dalam al-Khuthoth wats Tsâr. Di dalam perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya –karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khamr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.Kemudian, sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan ilmunya tidak mau kalah. Mereka bagaikan kaum Nabî Mūsâ dari Banî Isrâ`il yang setelah Allah selamatkan dari pasukan Fir’aun dan berhasil melewati samudera yang terbelah, mereka berkata kepada Mūsâ ‘alaihis Salâm untuk membuatkan âlihah (sesembahan-sesembahan) selain Allah, sehingga Mūsâ menjadi murka kepada mereka. Sebagian kaum muslimin di zaman ini turut merayakan perayaan tahun baru Masehi ini. Bahkan sebagian lagi, supaya tampak Islâmî merubah perayaan ini pada tahun baru Hijriah.
Al-Muqrizî di dalam Khuthath-nya (I/490) menceritakan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan tahun baru Hijriah ini adalah para pendukung bid’ah dari penguasa zindîq, Daulah ‘Ubaidiyah Fâthimîyah di Mesir, daulah Syi`ah yang mencabik-cabik kekuasaan daulah ‘Abbâsiyah dengan pengkhianatan dan kelicikan. Dan sampai sekarang pun, anak cucu mereka masih gemar merayakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak pernah Allôh dan Rasūl-Nya tuntunkan.
Pesta tahun baru sendiri, merupakan syiarnya kaum Yahūdî yang dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau pesta awal bulan, yaitu hari pertama tasyrîn, yang mereka anggap sama dengan hari raya ‘Idul Adhhâ-nya kaum muslimin. Mereka mengklaim bahwa pada hari itu, Allôh memerintahkan Ibrâhîm untuk menyembelih Ishâq ‘alaihis Salâm yang lalu ditebus dengan seekor kambing yang gemuk.
Sungguh ini adalah sebuah kedustaan yang besar yang diada-adakan oleh Yahūdî. Karena sebenarnya yang diperintahkan oleh Allah untuk disembelih adalah Ismâ’îl bukan Ishâq ‘alaihimâs Salâm. Karena sejarah mencatat bahwa Ismâ’îl adalah lebih tua daripada Ishâq dan usia Ibrâhîm pada saat itu adalah 99 tahun. Mereka melakukan tahrîf (penyelewengan fakta) semisal ini disebabkan oleh kedengkian mereka. Karena mereka tahu bahwa Ismâ’îl adalah nenek moyang orang ‘Arab sedangkan Ishâq adalah nenek moyang mereka.
Perayaan tahun baru di beberapa negara terkait erat dengan keagamaan atau kepercayaan mereka terhadap para dewa. Jika seorang muslim telah memahami hal ini, maka tentu ia akan memahami bahwa bagi sebagian kaum kafir, merayakan tahun baru merupakan peribadahan. Sehingga apabila seorang muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru maka boleh dibilang kerena ketidaktahuannya terhadap agamanya sebab ia telah menyerupai orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Padahal sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk menyerupai, meniru-niru atau menyamai umat lain. Hal ini ditegaskan dalam hadits berikut ini :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
Shahih Bukhari 6774: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibn Abu Dzi'b dari Al Maqburi dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari kiamat tidak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?" Nabi menjawab: "Manusia mana lagi selain mereka itu?"
Riwayat lain menyebutkan :
صحيح البخاري ٣١٩٧: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Shahih Bukhari 3197: Telah bercerita kepada kami Sa'id bin Abu Maryam telah bercerita kepada kami Abu Ghassan berkata, telah bercerita kepadaku Zaid bin Aslam dari 'Atha' binYasar dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lobang biawak kalian pasti akan mengikutinya". Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?". Beliau menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka) ".
Larangan mengikuti perayaan hari raya dan hari besar kaum non muslim juga ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari Abdullah bin “Amr bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa menetap dinegeri kaum musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru perilaku mereka sampai mati, maka ia kelak akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat ( HR. Baihaqi).
Hadits diatas diperkuat lagi dengan hadits lain sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahumullah bahwa Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar radyallahu anhum, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa meniru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
Dari beberapa hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang diketengahkan diatas maka menyambut dan memeriahkan tahun baru Masehi yang merupakan hari besar kaum Nasrani merupakan hal yang dilarang dilakukan oleh umat Islam karena ia merupakan salah satu bentuk tasyabbuh ( menyerupai ) mereka.
Berbagai Dampak Negatif
Kini, perayaan penyambutan tahun baru Masehi tanggal 1 Januari dinegeri ini telah menjadi suatu trend mark tersendiri. Muda, tua, pria, wanita, anak-anak, dewasa, muslim, kâfir, semuanya berkumpul untuk merayakan tahun baru. Segala bentuk acara untuk menyambut perayaan ini bermacam-macam. Ada yang sarat dengan hura-hura, pergelaran musik, pesta-pesta yang diisi dengan minuman-minuman keras, bercampur baurnya kaum wanita dan pria, asyik masuk pasangan muda mudi ,kesyirikan, ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan, dan ada lagi yang sarat dengan kebid’ahan,.
Sebenarnya media masa seperti surat kabar,televisi, radio, dan para pemilik pusat perbelanjaan sangat berperan dalam memasyarakatkan penyambutan tahun baru Masehi 1 Januari , perhatikanlah mereka tidak mau absen dari ikut serta memeriahkan tahun baru. Berbagai promosi dan diskon besar-besaran diadakan dalam rangka menyambut Natal dan tahun baru Masehi. Begitu meriah acara yang digelar oleh mereka untuk menyambut kedatangan tahun baru masehi tersebut, sehingga membuat kebanyakan orang terbuai, tidak sadar ikut hanyut terbawa arus. Mereka tidak melihat berbagai macam dilema keagamaan, sosial, dan masyarakat yang timbul karenanya. Mereka tidak tahu bahwa perayaan tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua itu hanyalah sebuah pemborosan, membuang-buang harta untuk hal yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya sama sekali
Sungguh benar apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abu Salma dalam artikelnya “ Tahun Baru Itu Syi’arnya Kaum Kufar, beliau menyebutkan : “Mereka berkumpul pada malam awal tahun Mîlâdîyah. Dalam perayaan ini mereka melakukan do`a dan upacara khusus dan begadang hingga tengah malam. Mereka habiskan malam mereka dengan menyanyi-nyanyi, menari-nari, makan-makan dan minum-minum sampai menjelang detik-detik akhir pukul 12 malam. Lampu-lampu dimatikan dan setiap orang memeluk orang yang ada di sampingnya, sekitar 5 menit. Semuanya sudah diatur, bahwa disamping pria haruslah wanita. Kadang-kadang mereka saling tidak mengenal dan setiap orang sudah tahu bahwa orang lain akan memeluknya ketika lampu dipadamkan. Mereka memadamkan lampu itu bukannya untuk menutupi aib, namun untuk menggambarkan akhir tahun mulainya tahun baru. Yang sarat dengan kesyirikan seperti, upacara penyambutan tahun baru yang kental diwarnai dengan klenik, perdukunan dan ilmu sihir. Segala paranormal berkumpul dan memberikan ramalan tentang awal tahun, baik dan buruknya. Sebagian lagi ada yang nyepi ke gunung-gunung atau tempat keramat untuk mencari ‘wangsit’ alias ilham dari setan.Ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan. Dan ini sangat banyak sekali dan mendominasi. Mulai dari pentas musik akhir tahun yang menghadirkan wanita-wanita telanjang tidak punya malu yang bergoyang-goyang dan menari-nari merusak moral, sampai acara minum-minuman keras, narkoba dan seks bebas.Ada lagi yang mengisi kegiatan ini dengan bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasūlullâh dan tidak pula dikerjakan oleh generasi terbaik, para sahabat dan as-Salaf ash-Shâlih. Mereka melakukan sholât malam (Qiyâmul Layl) berjama’ah khusus pada malam tahun baru saja dan disertai niat pengkhususannya. Ada lagi yang melakukan Muhâsabah atau renungan suci akhir tahun, dengan membaca ayat-ayat al-Qur`ân sambil menangis-nangis. Ada lagi yang berdzikir berjamâ’ah bahkan sampai istighôtsah kubrô. Dan segala bentuk bid’ah-bid’ah lainnya.
Penyambutan tahun baru Masehi 1 Januari dengan berbagai pesta tentunya memerlukan berbagai kebutuhan kelengkapan dan hal ini tidak akan terlepas dari penyediaan anggaran belanja yang tidak sedikit. Penyediaan anggaran belanja untuk membiayai pesta-pesta memeriahkan penyambutan tahun baru yang sama sekali tidak memberikan manfaat kecuali bersenang-senang hura-hura melampiaskan kegembiraan dan hawa nafsu tiada lain adalah perbuatan menghambur-hamburkan harta. Semua itu adalah perbuatan yang mubazir yang diharamkan.
Ada pula sebagian orang-orang muslim dalam rangka berpartisipasi menyambut tahun baru Masehi 1 januari mereka menyelenggarakan acara syukuran mengundang orang-orang dengan dalih untuk bersilaturakhim serta menyelenggarakan pengajian/ceramah keagamaan dan dzikir bersama, sehingga banyak masyarakat muslim yang terpedaya oleh tingkah polah mereka tersebut. Padahal apa yang mereka lakukan tersebut telah menyelesihi sunnah dan samasekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam maupun oleh para sahabat, tabi’in dan para tabi’iut tabi’in serta ulama salafus shalih. Perbuatan seperti tersebut sesungguhnya tiada lain adalah perbuatan mengada-ada ( bid’ah ) dalam hal agama.
K e s i m p u l a n
Tahun baru Masehi 1 januari merupakan tahun baru bagi kaum Nasrani yang sekaligus sebagai hari raya dan hari besar agama mereka yang terkait dengan syi’ar agama mereka, sehingga wajar saja bagi kalangan mereka mengadakan acara perayaan penyambutannya yang sekaligus dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah berupa kebaktian digereja. Meskipun perhitungan kalender dunia internasional menjadikannya sebagai pertanggalan tahunan dunia termasuk di Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut islam, bukan berarti bahwa kalangan orang-orang muslim juga harus turut merayakan dan menyambut kedatangan tahun baru Masehi 1 Januari tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan kaum Nasrani.
Larangan untuk merayakan dan menyambut tahun baru Masehi 1 Januari bagi kaum muslimin karena terkait dengan aqidah. Berdasarkan syari’at Islam telah memiliki dua hari raya ; yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dan umat islam dilarang untuk membesarkan hari rayanya kaum di luar Islam. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam melarang umatnya untuk meniru-niru atau menyerupai umat lain, termasuk tentunya dalam hal ini meniru-niru kaum Nasrani dalam merayakan dan menyambut tahun baru Masehi 1 januari .
Perayaan penyambutan tahun baru Masehi 1 Januari yang dilakukan menjelang tengah malam dengan berbagai kegiatan yang melibatkan segala lapisan dan umur dalam pesta-pesta, hura-hura, bercampurnya kaum wanita dan pria yang bukan mahram, mabuk-mabukan, pertunjukan musik yang hingar bingar, pesta kembang api hingga pergaulan bebas dan sex bebas, sungguh sebagai perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kemunkaran. Perayaan menyambut tahun baru masehi merupakan perbuatan menghambur-hamburkan harta. Semua itu merupakan perbuatan yang diharamkan.
Mengingat itu semua maka sudah selayaknya kaum muslimin ikut-ikutan latah merayakan dan menyambut tahun baru Masehi 1 Januari, hindarkanlah diri dan keluarga untuk tidak tergoda dan terbawa hanyut akan ajakan hawa nafsu yang di dalamnya tersembunyi godaan dari syaitan yang selalu ingin menjerumuskan manusia kepada perbuatan maksiat dan munkar yang berujung kepada dosa. ( Wallaahu ‘alam bishawab )
Selesai dikerjakan, Selasa, waktu dhuha  11 Safar 1433 H/ 25Desember 2012
( Musni Japrie )

Dipetik dari berbagai sumber