Rabu, 04 Januari 2012

" HIDUP INI SUDAH SURATAN "




Hari selasa kemarin, saya kembali menjalani program fisioterafi di RSU Wahab Syahranie atas syaraf terjepit yang sayaderita sudah 3 minggu ini. Sementara menunggu antrian giliran saya duduk santai diruang tunggu yang ada pendinginnya,duduk disamping saya seorang lelaki dengan memangku seorang gadis cilik yang ternyata juga harus menjalani program fisioterafi secara rutin karena kelumpuhan tidak bisa berjalan. Lelaki tersebut saya ajak ngobrol tentang berbagai hal. Ia mengaku bernama Giman berasal dari sebuah desa kecil di Kabupaten Kutai Barat jauh dipedalaman sungai Mahakam. Giman juga bercerita bahwa empat orang anak-anaknya seluruhnya menderita penyakit kelumpuhan tidak dapat berjalan sehingga hanya mampu merangkak. Gadis kecil yang dipangkunya merupakan anak yang keempat berumur kurang lebih 5 tahun.Giman menceritakan kehidupannya sebagai petani dipedalaman dengan tanggungan anak-anak yang seluruhnya menderita kelumpuhan bagi orang lain mungkin merupakan hal yang cukup berat dan membutuhkan kesabaran yang tinggi, namun bagi ia dan isterinya kondisi seperti ini mereka hadapi dengan pasrah kepada yang diatas karena hidup ini sudah suratan katanya.
Apa yang diucapkan oleh Giman bahwa “ hidup ini sudah suratan “ sangatlah berkesan karena orang semacam Giman petani lugu dari pedalaman dapat memaknai hidup sebagai sebuah ketetapan dan ia dan isterinya pasrah menerimanya dengan kesabaran yang tinggi dab memahami hakekat dari takdir Allah.
Penderitaan Merupakan Ketetapan Dari Allah Bagi Manusia
Sebagaimana yang sering disinggung oleh para ulama, bahwa seluruh makhluk yang diciptakan Allah mengikuti skenario yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Ta’ala dalam takdir 50.000 tahun sebelum bummi diciptakan, yang tentunya termasuk di dalamnya segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bani adam baik berupa kebahagian atau kesengsaraan seperti penderitaan berupa penyakit yang menimpa manusia, Hal tersebut ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu Ta’ala :

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصَيبُ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
‘J.’ ( QS. Yunus : 107 )

Apapun yang menimpa manusia berupa takdir sebagai suatu ketetapan yang datangnya dari Allah Subhanahu Ta’ala tidak akan lepas dari manusia seperti yang disebutkan Allah dalam firman-Nya
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَاْليَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ
Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”( QS.at-Taubah : 51 )
Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak akan pernah menimpa dirinya Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya -kepada Allah, pent- niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.”
Beliau melanjutkan, apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akhirat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
1.Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah ta’ala.
2.Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di sini dengan iman.
Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan kekuatan iman dan keyakinan.Dan semoga kita dapat mencontoh bagaimana Giman dan isterinya dengan kesabaran tinggi menerima hidup miskin dengan anak-anak yang menderita kelumpuhan karena hidup ini sudah suratan.
Samarinda, 20 Oktober 2011
( Musni Japrie )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar