Mengajak kepada sesasama hamba Allah untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemunkaran
Rabu, 28 September 2011
" Terbelenggu Dalam Berbagai Kemaksiatan "
By : Musni Japrie
Dizaman sekarang ini dimana-mana banyak orang melakukan perbuatan maksiat baik maksiat yang kecil sampai kepada maksiat yang besar, baik dilakukan secara terbuka atau terang-terangan maupun secara tersembunyi yang dirinya sendiri mengetahuinya, baik maksiat secara perseorangan sampai perbuatan maksiat yang dilakukan secara beramai-ramai berjamaah. Mereka yang melakukan perbuatan maksiat tersebut merasa enjoi dan santai tanpa ada beban serta menikmatinya yang seolah-olah perbuatan maksiat tersebut sebagai perbuatan biasa-biasa saja yang lumrah dilakukan oleh banyak orang. Sepertinya kebanyakan orang menganggap bahwa perbuatan maksiat yang mereka lakukan bukanlah suatu perbuatan yang berdosa, melainkan dianggap sebagai sebuah permainan belaka. Mereka banyak yang telah terbelenggu dalam berbagai kemaksiatan.
Sebenarnya banyak ragam perbuatan maksiat yang dilarang oleh syari’at Islam yang umatnya diperintahkan untuk meninggalkan serta menjauhinya, yang bila dirinci secara satu persatu memerlukan uraian yang sangat panjang. Namun untuk keperluan mengingatkan kepada kita semua bahwa hal yang sekecil apapun yang dianggap biasa-biasa saja apabila perbuatan tersebut telah melanggar mendzalimi hak-hak sesama manusia apalagi hak-hak Allah maka itu adalah maksiat yang akan diberikan hukuman kelak dikemudian hari.
Sesungguhnya hampir setiap hari bahkan setiap saat banyak orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat yang berkaitan dengan hak-hak orang lain tanpa disadarinya seperti berbuat kasar, menyakiti orang lain dengan perkataan, sikap atau perbuatan, mengambil hak orang lain dalam berbagai aplikasinya, melakukan kebohongan atau berbohong, tidak jujur dan melakukan penipuan dalam beragam bentuknya. Banyaknya sesama muslim yang salinmg mendengki satu sama lain. Melakukan kegiatan renteneir dan pinjam meminjam dengan sistim riba . Tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab (seperti misalnya para pegawai negeri atau karyawan swasta yang tidak masuk kerja tanpa alasan atau sengaja masuk kerja terlambat dari waktunya dan pulang sebelum waktunya). Kemudian mencaci maki, berburuk sangka dan menuduh seseorang, melakukan fitnah, menggunjing, tidak memenuhi janji (ingkar ) dan berbagai kemaksiatan kecil lainya.Perbuatan yang semacam itu meskipun termasuk perbuatan maksiat tetapi oleh kebanyakan manusia sudah dianggap bukan perbuatan yang berdosa dan kalaupun mereka menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak baik dan dibenci namun dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh serta tidak diperdulikan. Pencurian dan perampokan, pemerkosaan hingga pembunuhan sudah dianggap hal yang biasa saja.
Selain kemaksiatan yang dilakukan berkaitan dengan hak sesama manusia maka yang lebih parah lagi banyak orang-orang muslim yang mengentengkan dan meremehkan perbuatan maksiat yang terkait hak-hak atas Allah yang menjadi kewajiban mereka namun dilalaikan dan ditinggalkan. Meskipun perbuatan maksiat tersebut kelak akan berakibat fatal karena besarnya dosa yang ditimbulkannya. Betapa banyak orang yang meninggalkan kewajiban shalat tanpa uzur, mereka tidak memperdulikan ajakan muazin yang mengumandangkan azan untuk sholat,dimana-mana terdapat masjid-masjid dan surau-surau namun kesepian jama’ah, meskipun disekitarnya padat dengan perumahan penduduk muslim. Betapa banyak orang-orang yang mengaku sebagai muslim tetapi dibulan ramadhan tidak hanya anak-kecil yang tidak berpuasa, anak-anak muda dan kaum dewasa juga secara sengaja enggan untuk berpuasa.
Perbuatan maksiat yang secara sadar dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin yang nampak secara kasat mata dan sepertinya sengaja dipertontonkan kepada khalayak ramai antara lain yang dilakukan oleh kaum wanitanya dengan mengenakan pakaian untuk menonjolkan bentuk dan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena merupakan aurat. Kebanyakan kaum wanita yang dalam cara berpakaian lebih mementingkan trend yang lagi mewabah daripada kepentingan syari’at sehingga mereka telah melakukan pelanggaran dengan berbuat maksiat secara sengaja karena menganggap bahwa maksiat itu adalah urusan yang digampangkan saja.
Dikalangan remaja tidak kalah pula telah mewabah pergaulan yang tidak mengindahkan larangan, dimana-mana terlihat pasangan muda mudi berboncengan dengan berpelukan, berpacaran dan keluyuran malam-malam dan berdua-duaan memadu kasih dan ujung-ujungnya memadu berahi syahwat. Begitu pula perselingkungan dan perzinahan ditempat-tempat mengumbar syahwat serta tempat-tempat hiburan malam tiada lain adalah perbuatan maksiat yang terlarang dikerjakan, namun mereka dengan enjoy melakoninya tanpa beban karena menganggap remehnya maksiat tersebut.
Perhatikan betapa banyaknya orang dengan seenaknya merokok yang juga dilakukan oleh kalangan anak-anak dibawah umur meskipun sudah jelas bahwa hukum rokok adalah haram, tapi keharaman rokok tersebut diabaikan. Begitu pula minuman keras diperdagangkan oleh pedagang muslim serta diteguk oleh banyak kalangan muslim serta narkoba yang jelas-jelas keharamannya bukan hal yang asing lagi.Disisi lain perjudian dalam berbagai bentuk dijadikan sebuah permainan dan hiburan yang mengasyikan, tidak memperdulikan akibatnya. Memakan makanan yang haram baik jenisnya maupun haram dalam memperolehnya.
Maksiat yang terkait dengan hak-hak Allah yang dilakukan kebanyakan orang antara lain adalah menyekutukan Allah dengan makhluknya. Betapa banyak orang-orang melakukan upacara ritual pemberian sesajen sebagai bentuk persembahan kepada dewa-dewa penguasa seperti pesta laut, pesta bumi dan beragam bentuk lainnya. B erbuat riya menampak-nampakkan dengan sengaja ibadahnya agar dipuji dll. Selain itu banyak kalangan umat islam yang menyembah kuburan para wali atau kuburan yang dikeramatkan dengan meminta dan berdoa dikuburan agar hajatnya dikabulkan. Banyak kalangan umat islam yang datang kedukun, ke orang-orang pintar atau paranormal minta pertolongan agar disembuhkan dari penyakit,meminta pengasih, meminta penglaris. Meminta keteguhan, meminta pertolongan agar diberikan jabatan. Memakai jimat-jimat dan batu-batuan atau benda pusaka bertuah. Yang semuanya merupakan perbuatan meminta pertolongan bukan kepada yang semestinya yaitu Allah.
Lalai dari Allah
Manusia adalah makhluk yang lalai. Tidak hanya lalai untuk mengerjakan amal ketakwaan namun juga lalai dari dosa-dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia acapkali mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia aman dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia ataupun di akhirat. Perbuatamn maksiat dijadikan permainan belaka, tidak ,menyadari adanya kandungan dosa di dalammnya
Allah berfirman :
-
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”( QS. Al-Baqarah : 208 )
Dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada hamba-hambanya agar masuk kedalam islam secara utuh dalam kehidupannya dan menjauhi jejak langkah syetan yang menyesatkan dengan mentaati segala perintah dan segala bentuk larangan yang berupa kemaksiatan.
Mengingat bahwa manusia kebanyakan lalai dari ketaatannya kepada Allah Subhanahu Ta’ala, maka terjerumuslah mereka kedalam ajakan syetan sehingga berbuat kemaksiatan.
Allah Subhanahu Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” ( QS. An-Nisaa : 59 )
Diperintahkannya hamba untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya dari kemaksiatan adalah semata-mata demi kebaikan hamba, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat penyayang terhadap manusia. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan hamba.
Allah Subhanahu Ta’ala berfirman :
ا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”( QS. An-Nuur : 24 )_
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu marah, dan marahnya Allah itu apabila ada ada seseorang melakukan apa yang diharamkan Allah atasnya “( HR. Muttafaqub alaihi )
Hadits tersebut mengingatkan terjerumusnya seseorang kepada jurang kekejian atau kemaksiatan dan segala sesuatu yang diharamkan Allah , karena hal itu bisa menyebabkan Allah murka kepada siapa saja yang melakukannya, dan Allah akan marah apabila larangan-Nya dilanggar.
Dosa kecil dan dosa besar
Kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah akan membuahkan dosa, sedangkan dosa itu sendiri berakibat kepada dijatuhkannya sanksi atau hukuman oleh Allah yang besar kecilnya serta bentuk hukumannya itu sendiri tergantung kepada besar kecilnya kemaksiatan yang dilakukan. Dan dosa itu bertingkat-tingkat kejahatannya. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Adapun dosa besar adalah setiap pelanggaran yang pelakunya mendapatkan had (hukuman yang telah ada ketentuannya dari syariat) seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau yang ada ancaman secara khusus di akhirat nanti berupa adzab dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau yang pelakunya dilaknat melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Al-Kaba`ir karya Adz-Dzahabi rahimahullahu hal. 13-14, cet. Maktabah As Sunnah)
Adapun jumlah dosa besar lebih dari tujuh puluh. Sekian banyak dosa besar itupun bertingkat-tingkat. Ada dosa besar yang paling besar misalnya syirik, membunuh jiwa tanpa hak, dan durhaka kepada orangtua. Karena bahaya yang mengancam pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat nanti, kita dapati sebagian ulama Ahlus Sunnah menulis kitab tentang dosa-dosa besar (al-kaba`ir) semisal Al-Imam Adz-Dzahabi dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah. Hal ini agar orang tahu tentang dosa-dosa besar sehingga mereka akan menjauhinya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi yang menjauhi dosa-dosa besar sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلاً كَرِيْمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa`: 31)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah menjadikan orang yang meninggalkan dosa-dosa besar masuk dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ اْلإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
“Maka segala sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang–orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal, dan bagi orang–orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (Asy-Syura: 36-37)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلاَة ُالْـخَمْسُ وَالْـجُمُعَةُ إِلَى الْـجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selagi dosa besar tidak didatangi (dilakukan).” (HR. Muslim Kitabut Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash Shalah ‘Aqibihi no. 233 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Ketika seseorang berbuat kemaksiatan atau melakukan perbuatan dosa, janganlah melihat kepada kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa dia berbuat dosa? Patutkah bagi seseorang yang diciptakan dan diberi berbagai kenikmatan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, lantas melanggar larangan-Nya?!
Sesungguhnya suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal berikut:
1. Dosa yang dilakukan secara rutin. Sehingga dahulu dikatakan: “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala).”
2. Menganggap remeh suatu dosa. Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun jika ia menganggap kecil maka menjadi besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dalam suatu atsar bahwa:” seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya.” (Shahih Al-Bukhari no. 6308)
3. Bangga dengan dosa yang dilakukannya serta menganggap bisa melakukan dosa sebagai suatu nikmat. Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, akan dititik hitam pada hatinya.
4. Menganggap ringan suatu dosa karena mengira ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diberi tangguh serta tidak segera dibeberkan atau diadzab. Orang yang seperti ini tidak tahu bahwa ditangguhkannya adzab adalah agar bertambah dosanya.
5. Sengaja menampakkan dosa di mana sebelumnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga mendorong orang yang pada dirinya ada bibit–bibit kejahatan untuk ikut melakukannya. Demikian pula orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan orang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِـي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُولُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai Si fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tutupi darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)
Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
“Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.” (At-Taubah: 67)
6. Dosa menjadi besar jika dilakukan seorang yang alim (berilmu) yang menjadi panutan
Dari penjelasan singkat diatas maka seyogyanya orang-orang yang selama ini menjadikan kemaksiatan sebagai teman bermain yang mengasyikkan, baik kemaksiatan yang dikatagorikan sebagai dosa-dosa kecil maupun yang sifatnya besar untuk segera meninggalkan kebiasaan buruk dengan bertaubat secara sungguh-sungguh. Bertaubat sebelum, ajal tiba ,dengan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali.
( Wallahu Ta’ala ‘alam )
29 Syawal 1432H / 27 September 2011
Senin, 26 September 2011
" MASIH ADA HARI ESOK "
Mendung tidak lah selalu kelabu
Di baliknya masih ada mentari bersinar cerah
Malam tidaklah selalu kelam mencekam
Masih ada hari esok penuh harapan
Hujan badai takkan lama dan pasti berlalu
Kemarau kering kerontang melanda persada
Terhapus deraian air di musim penghujan
Menumbuh kembangkan permadani rerumputan
Rerantingan pepohonan tidaklah gersang selamanya
Karena akan bersemi pucuk-pucuk hijau semerbak
Laut tidak selamanya bergelora menghempaskan biduk
Laut tenang angin berhembus lembut menanti
Layar berkembang melaju dihembus angin daratan
Samudera luas seperti tak bertepi dikaki langit
Di ujungnya menanti pulau menjemput harapan
Bahtera tidaklah berlayar tanpa henti
Tepian tempat berlabuh selalu menanti
Jalan tidaklah selalu mendaki dan berliku
Di hadang krikil dan bebatuan tajam
Di ujungnya menanti jalan lurus dan mulus
Cerita tidaklah pernah tidak selesai
Panggung sandiwara pastilah usai
Derita kehidupan niscaya berujung
Masih ada hari esok penuh harapan
(By : Musni Japrie )
Kota Tepian, 17 September 2011
Sabtu, 24 September 2011
" MISKIN DI DUNIA SENGSARA DI AKHIRAT "
By : Musni Japrie.
Sudah kita maklumi bersama bahwa negeri kita yang kaya raya ini termasuk negara yang rakyatnya sebagian besar -masih miskin. Di mana-mana, tidak hanya di desa-desa tetapi di kota-kota diseantero tempat dijumpai orang-orang yang hidupnya melarat, hidup di perumahan yang sederhana bahkan dalam gubuk-gubuk reyot. Adapula yang tidur di bawah kolong jembatan , diemperan toko atau dalam gubuk-gubuk darurat untuk sekedar tempat berteduh di malam hari dari dinginnya malam.
Untuk dapat bertahan hidup secara apa adanya para kaum dhuafa tersebut terpaksa harus bekerja keras menjual tenaga mereka dengan beragam usaha dengan pendapatan jauh dari mencukupi. Mereka-mereka itu ada yang menjadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, pedagang asongan, pengamen jalanan, pemulung, penyamu jalanan, tukang sampah, buruh tani serta banyak lagi ragam pekerjaan non formal lainnya. Mereka bekerja tidak mengenal waktu dari subuh bahkan ada yang sejak dinihari hingga malam hari bekerja keras tanpa mengenal lelah dan tanpa istirahat kecuali saat hendak tidur .
Karena kesibukannya mengais rezeki sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi dirinya dan keluarganya yang menyita waktu seharian penuh disiang hari menjual tenaga maka tinggalah malam hari kelelahan yang mereka dapatkan, sehingga banyak diantara mereka yang tidak sempat lagi untuk menjalankan kewajiban agamanya sebagai perwujudan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya melalui ibadah sholat fardhu apatah lagi sholat sunahnya. Begitu pula kewajiban lainnya seperti berpuasa wajib dalam bulan Ramadhan setahun sekali terpaksa dibaikan atas dalih tidak mampu melakukannya karena harus bekerja keras seharian suntuk yang memerlukan tenaga ekstra. Padahal mereka tahu bahwa manusia itu diciptakan tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana yang difirman Allah Subhanahu Ta’ala :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah : 21 ).
Kemiskinan yang menimpa sebagian orang ternyata juga memberikan dampak munculnya tindakan-tindakan kemaksiatan lain dengan dalih untuk menutupi kebutuhan hidup seperti adanya orang-orang yang menjadi pencopet, pencuri, merampok dan bahkah melakukan tindakan penganiayaan serta kekerasan hingga membunuh untuk dapat merebut harta orang. Lebih ironis lagi dengan berdalihkan untuk menutupi kebutuhan hidup yang serba kekurangan banyak pula wanita yang menjadi wanita pelayan dan penghibur di café-café dan tempat hiburan malam lainnya dan tidak kurang pula banyak wanita-wanita yang terpaksa harus menjual dirinya melakukan perzinahan sebagai profesinya. Sungguh banyak orang yang telah melakukan perbuatan maksiat dengan dalih karena kemiskinan hidup mereka.
Sesungguhnya kehidupan seseorang hamba ini sudah merupakan suratan takdir yang sudah tertulis 50.000 tahun sebelum diciptakannya dunia ini, dimana kehidupan seseorang sengsara ataukah bahagia adalah bagian dari ketetapan-Nya. Dengan ketetapan tersebut baik si miskin maupun si kaya mendapatkan kewajiban yang tidak berbeda untuk taat dan taqwa kepada Allah yang telah meniciptakannya. Karena Allah Ta’ala tidak memandang dari segi kedudukan, seseorang miskin atau kaya, orang bermatabat atau rakyat jelata, tetapi Allah melihatnya dari ketaqwaan seseorang. Orang yang paling taqwa mempunyai nilai lebih di mata Allah.
Sebenarnya orang-orang miskin di akhirat kelak saat memasuki pintuk surga akan didahulukan dari orang-oramng kaya sebagaimana hadits dari Usamah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Saya berdiri di pintu syurga, tiba-tiba - saya lihat - kebanyakan orang yang memasukinya itu adalah orang-orang miskin, sedang orang-orang yang mempunyai kekayaan masih tertahan - belum lagi diizinkan untuk masuk syurga. Tetapi para ahli neraka sudah semua diperintahkan untuk masuk neraka. Saya juga berdiri di pintu neraka, tiba-tiba -saya lihat -kebanyakan para ahli neraka itu adalah kaum wanita." (Muttafaq 'alaih)
Namun bukan berarti bahwa seluruh orang-orang miskin yang memperoleh surga dan diberikan prioritas memasuki surga. Tentunya yang dimaksudkan dari sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diperuntukkan bagi orang-orang miskin yang bertaqwa, sedangkan bagi orang-orang yang miskin yang melalaikan ketaatan dan ketaqwaannya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Sementara ini banyak orang-orang miskin yang meninggalkan ketaatan dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Ta’ala menggunakan dalih kemiskinan mereka yang memaksanya untuk tidak mepunyai kesempatan melakukan kewajiban-kewajiban agama karena kesibukan mencara nafkah. Sebenarnya apabila mereka benar-benar menyadari pentingnya melaksanakan ibadah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, maka menyediakan waktu sesaat apabila tiba waktu panggilan sholat tidaklah mengganggu kesempatannya mengais rezeki. Lemahnya iman mereka menyebabkan timbulnya anggapan untuk meremehkan arti ketaatan dan ketaqwaan, padahal ketaatan dan ketaqwaan adalah bekal untuk hari akhirat kelak. Mereka abaikan kehidupan panjang di akhirat hanya sekedar untuk mengejar kebutuhan hidup di dunia yang serba pendek. Ujung-ujungnya di dunia mereka miskin dari materi dan diakhirat mereka juga mendapatkan penderitaan panjang.
Para ulama telah bersepakat bahwa meninggalkan sholat secara sengaja termasuk dosa besar.Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27).Allah Ta’/ala berfirman : Al Muddatsts (74)
--> َخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Firman Allah :
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,” ( QS. A;- Muddatstsir : 42 -43 )
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Selain ayat-ayat al-Qur’an banyak pula hadits Rasullullah shallalahu’alahi wa sallam yang menyinggung orang-orang yang meninggalkan sholat,antara lain :
Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasullullah shallalllahu’alahi wa sallam bersabda :
“Amal (ibadah) yang pertama kali akan dihisab Dari seseorang hamba di hari Kiamat(kelak) adalah tentang shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka ia akan beruntung dan sukses . Akan tetapi apabila shalatnya jelek, maka ia akan gagal dan merugi ( HR. Imam At-Tirmidzi )
Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
Barang siapa yang tidak memelihara shalat, maka ia tisdak akan bercahaya, tidak mempunyai hujjah (alasan) dan tidak akan diselamatkan. Dihari kiamat kelk ia akan dikumpulkan bersama Qarun, Firiaun, Haman dan Ubay bin Khalaf “( HR. Imam Ahmad)
Dilain pihak ditemukan pula sebagian orang yang menjadikan kemiskinan dan tuntutan kebutuhan hidup melakukan kemaksiatan lain sebagai profesinya apakah sebagai maling, pencopet, garong, atau perampok atau juga menjajakan kehormatan dirinya, ada pula yang bekerja di tempat-tempat hiburan malam dengan berbagai job yang semuanya tidak lain adalah perbuatan yang membuahkan dosa. Mereka sepertinya melupakan bahwa kelak di akhirat hukuman dan siksa dari Allah Yang Maha Mengetahui akan menjadikan mereka menderita berkepanjangan setelah didera hidup penuh kemiskinan di dunia. Sesungguhnya mereka telah menjadi orang yang miskin akan materi dan miskin pula akan iman.
Miskin dan kayanya seseorang sebenarnya merupakan ujian dari Allah sebagaimana firman-Nya :
-
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِّيَقُولواْ أَهَـؤُلاء مَنَّ اللّهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya) ?" (QS. Al-An’am : 53 )
Kemiskinan yang dialami oleh seseorang hamba Allah tiada lain adalah merupakan ujian untuk mengetahui sampai dimana tingkat keimanannya sejalan dengan firman Alllah Subahanahu Ta’ala :
-
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS.Al
‘Ankabut :2-3)
. Ayat tersebut diatas mengandung makna bahwa Allah Subhanahu Ta’ala telah menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, kesulitan, kemudahan, segala yang disenangi dan tidak disenangi, kaya dan miskin.
Terhadap adanya ujian dan cobaan kepada setiap hamba yang datangnya dari Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala te;ah memerintahkan untuk bersabar, karena pada hakikatnya sabar itu adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulal seorang hamba akan konsisten menjalankan ketaan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada ALLAH
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan ALLAH
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir ALLAH yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan ALLAH serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba- Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan ALLAH lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan ALLAH di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17
Allah berfirman,
“Sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepada kamu sekalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)
Dari ayat di atas, kita bisa melihat ternyata cobaan dan ujian yang diberikan oleh Allah itu banyak macamnya. Kemiskinan dan kekurangan harta mungkin bisa jadi adalah ujian yang paling berat untuk dihadapi. Makanya Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran dan kekufuran akan semakin mendekatkan kepada api neraka. Contoh mudahnya kita sering menyaksikan atau membaca di berita banyak orang yang bunuh diri akibat tidak sanggup menghadapi kemiskinan.Karenanya, sabar dalam menghadapi kemiskinan dan kekurangan harta adalah bentuk kesabaran yang paling krusial. Jika orang mampu menghadapinya, maka ia akan tumbuh menjadi orang-orang yang kuat mental dan imannya. Namun jika tidak, maka peluang untuk terjerumus ke dalam kemungkaran sangat besar.
Dari penjelasan tersebut diatas maka dapat diambil manfaat bahwa janganlah kemiskinan menjadikan kita menjadi lalai dan melupakan kewajiban kita selaku umat islam dalam menjalankan segala hal yang diperintahkan dan menjauhkan serta meninggalkan segala bentuk larangan. Terutama sekali janganlah meninggalkan shalat walau bagaimanapun kon disi dan kesibukan yang dihadapi. Janganlah kemiskinan yang kita rasakan di dunia selama hidup miskin akan menjadi sengsara pula di akhirat akibat dosa-dosa dari kemaksiatan ( Wallaahu Ta’ala ‘alam )
Bahan bacaan : Dipetik dari berbagai sumber.
Samarinda, 24 September 2011
Diposkan oleh MUSNI JAPRIE al-PASERY di 19:40
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Label: N a s i h a t
Kamis, 22 September 2011
"JALAN MENUJU SURGA ITU TIDAK MUDAH "
By : musni Japrie
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ -
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS.Al‘Ankabut :2-3)
Surga adalah dambaan bagi setiap bani Adam untuk ditempatinya kelak di akhirat sebagai tempat tinggal yang abadi, namun tentunya tidaklah mudah untuk memperolehnya kecuali dengan perjuangan yang keras dan ulet. Karena jalan menuju surga itu banyak melalui ujian –ujian yang pahit . Orang-orang yang mengaku beriman dalam perjalanan hidupnya mencari bekal untuk akhirat akan merasakan ujian sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Ta’ala tersebut diatas.
Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak dalam tulisan beliau : Menelan Pahitnya Ujian Dalam Beraqidah demi kehidupan Hakiki”menyebutkan : adanya ujian bagi hamba-hamba yang beriman sudah merupakan ketetapan sunatullah yang harus dijalahi karenasunnatullah yang telah memastikan adanya ujian dan cobaan bagi orang yang melaksanakan syariat dan mengikuti kebenaran. Dengan ujianlah akan nampak orang yang benar-benar jujur dan orang yang berdusta. “Allah Subhanahu Ta’ala telah memberitakan tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Dan hikmah Allah tidak menentukan bahwa setiap orang yang mengatakan dan mengaku dirinya beriman, akan selalu berada dalam satu kondisi, selamat dari ujian dan cobaan dan tidak datang menghampirinya segala perkara yang akan mengganggu iman dan segala cabangnya. Jika hal itu terjadi artinya orang-orang yang mengaku beriman tidak diuji, tentu tidak bisa dipisahkan antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, serta antara orang yang benar dan orang yang salah. Sungguh sunnatullah telah berjalan dalam kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini. Allah l menguji mereka dengan kesenangan, malapetaka, kesulitan, kemudahan, segala yang disenangi dan tidak disenangi, kaya dan fakir, kemenangan musuh dalam sebagian kondisi, memerangi mereka dengan ucapan dan perbuatan, serta berbagai ujian lainnya. Segala bentuk ujian ini kembali kepada: ujian syubuhat yang akan mengempas aqidah, dan syahwat yang akan menodai keinginan. Barangsiapa yang ketika datang fitnah syahwat, imannya tetap kokoh dan tidak goncang, maka kebenaran yang ada pada dirinya menghalau fitnah tersebut. Ketika datang fitnah syahwat dan segala seruan kepada perbuatan maksiat dan dosa, dorongan untuk berpaling dari perintah Allah l dan Rasul-Nya, dia berusaha mengaplikasikan konsekuensi iman dan bertarung melawan syahwatnya. Ini menunjukkan kejujuran dan kebenaran imannya.
Namun barangsiapa yang ketika fitnah syubhat datang memengaruhi hatinya dengan memunculkan keraguan dan kerancuan, dan ketika fitnah syahwat menghampirinya lalu dia terseret pada perbuatan maksiat atau mendorongnya untuk meninggalkan kewajiban, ini menunjukkan tidak jujur dan tidak benarnya iman yang ada pada dirinya." (As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 576)
Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.“ (Al-Baqarah: 214)
Tidak ada seorangpun yang pernah membayangkan jika ternyata surga beriringan dengan ujian dan rintangan besar, banyak lagi berat. Tempat kenikmatan yang hakiki dan abadi diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hal ini menegaskan:
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka diliputi oleh berbagai macam syahwat dan surga diliputi oleh berbagai macam perkara yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari no. 6006 dan Muslim no. 2823 dari sahabat Abu Hurairah)
Demikianlah. Surga didapatkan dengan berbagai macam ujian dan cobaan, rintangan, dan gangguan. Asy-Syaikh As-Sa'di t mengatakan: “Allah Ta’ala memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, dan kesulitan sebagaimana telah Dia lakukan atas orang-orang sebelum mereka. Ujian ini merupakan sunnatullah yang terus berlangsung, tidak akan berubah dan berganti. Barangsiapa yang melaksanakan ajaran agama dan syariat-Nya, pasti Dia akan mengujinya. Jika dia bersabar atas perintah Allah Ta’ala dan tidak peduli dengan segala rintangan yang terjadi di jalan-Nya, maka dialah orang jujur yang telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Dan itulah jalan menuju sebuah kepemimpinan. Namun barangsiapa menjadikan ujian dari manusia bagaikan siksa Allah, seperti dia terhalangi untuk melaksanakan ketaatan karena gangguan tersebut, menghalanginya dari meraih tujuannya, maka dia berdusta dalam pengakuan keimanan. Karena iman bukan sekadar hiasan, angan-angan, dan pengakuan. Amallah yang akan membenarkan atau mendustakannya.”
Semua ini menuntut agar kita memiliki kesiapan untuk menerima berbagai macam ujian dengan bermacam-macam bentuk dan kadarnya. Terkadang sebuah perkara sangat tidak disukai oleh diri kita, ternyata mengandung kebaikan yang banyak. Seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya:
Jalan menuju surga yang diidamkan hanya dapat diperoleh melalui ketaatan kepada Allah merupakan kewajiban setiap hamba Allah yang mengaku beriman kepada-Nya. Taat kepada Allah berarti mengikuti dan melakukan segala apa yang diperintahkan-Nya baik berdasarkan ketetapan yang digariskan dalam al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah shallalahu’alaihi wa salam. Sedangkan bentuk ketaatan yang dituntut untuk dilakukan oleh hamba-hamba Allah ada yang bersifat wajib dan ada pula yang bersifat sunah, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan amal ibadah dimana ia juga merupakan sebuah ujian bagi orang-oarng yang beriman
Sebagaimana diketahui bahwa dalam melakukan ketaatan kepada Allah yang tentunya dalam hal ini termasuk ketaatan kepada Rasul-Nya berlawanan dengan kepentingan hawa nafsu yang banyak ditunggangi oleh syaitan dengan godaannya. Disamping itu ketaatan melaksanakan syari’at membutuhkan pengorbanan terutama bagi orang-orang yang belum begitu mantab keimanannya serta masih kuatnya godaan duniawi.Kesabaran di dalam melakukan ketaatan merupakan upaya keras yang harus dilakukan seseorang agar bentuk ketaatannya tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkannya.Tanpa upaya keras dengan kesabaran yang tinggi maka godaan hawa nafsu akan mengalahkan kehendak melakukan ketaatan.
Dunia dengan segala gemerlapnya yang daya tariknya sangatlah menggoda seseorang untuk menekuninya menginat di dalam gemerlap dan daya tariknya tersebut dunia mampu memberikan berbagai bentuk kenikmatan sehingga terpuaskanlah kehendak nafsu yang mempunyai tabiat untuk selalu minta dipuaskan. Godaan dunia tersebut akan mengajak kepada manusia melupakan dan melalaikan ketaatannya kepada Allah Subhanahu Ta’ala, sehingga godaan dunia merupakan penghalang bagi hamba-hamba Allah untuk mendekat diri kepada-Nya.
Melakukan berbagai ketaatan kepada Allah kadang kala harus mengorbankan kepentingan dunia yang dikuasai oleh nafsu, dimana nafsu menginginkan akan dunia seisinya ini dapat dikuasi sehingga terpenuhilah berbagai hasrat, sedangkan dipihak lain dalam ketaatan itu terikat dengan ketentuan syari’at, sehingga kedua kepentingan antara kebutuhan akan ketaatan dan kebutuhan cinta dunia saling bertolak belakang, dan ujung-ujungnya terjadilah saling tarik menarik antara dua kepentingan tersebut. Dan disinilah pentingnya peran kesabaran agar daya tarik kepentingan cinta dunia yang melalaikan dapat dikalahkan oleh kepentingan untuk melakukan ketaatan dan ini meruapakan batu ujian bagi oarng-orang beriman.
Hampir pada setiap bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tingkat keimanan yang memadai, karena seperti untuk bersedeqah baik sedeqah wajib berupa zakat dan sedeqah sunah seperti infak dan wakaf dengan mengeluarkan harta dipandang dari sudut kepentingan duniawi dan kepentingan hawa nafsu dianggap akan dapat mengurangi harta dan tidak memberikan keuntungan materi bagi sipemberi. Sehingga untuk dapat dikeluarkannya sedeqah tersebut memerlukan adanya kesabaran melawan godaan kepentingan duniawi yang bersikukuh untuk membatalkan rencana sedeqah yang akan dikeluarkan. Mengeluarkan harta untuk bersedeqah merupakan pengorbanan tersendiri yang membutuhkan adanya kesabaran sehingga tidak merasa tertekan akan kehilangan harta untuk bersedeqah.
Begitu pula dalam dalam melakukan ketaatan melakukan perintah wajib seperti berpuasa ( wajib dan sunat) seseorang harus berlapar dan menahan haus disiang hari sehingga fisik menjadi lemah dan lesu, untuk itu perlu adanya kesabaran dan menahan diri dari pemenuhan kebutuhan fisik. Bahkan dalam berpuasa seseorang harus menahan nafsu syahwatnya disiang hari meskipun hasratnya menyala-nyala, sehingga yang bersangkutan harus pula mengorbankan kepentingan kepuasan syahwatnya untuk terwujudnya ketaatan.Semuanya sulit untuk dijalankan oleh sebagian orang dan ini tidak lepa sebagai salah satu ujian untuk menggapai surga.
Kepahitan sebagai ujian dalam menjalani ketaatan juga dirasakankan dalam melaksanakan ibadah sholat baik sholat fardhu maupun sholat sunah. Karena untuk sholat fardhu 5 kali dalam sehari semalam ditambah dengan sholat sunah rawatibnya harus mengorbankan waktu selama beberapa saat, dimana waktu yang dikorbankan tersebut bagi seseorang sangatlah berharga karena harus meninggalkan aktifitasnya. Apalagi untuk sholat subuh seseorang harus rela berkorban bangun meninggalkan kenikmatan tempat tidur . Bahkan pengorbanan yang lebih besar lagi harus dikeluarkan oleh mereka yang bangun pada sepertiga akhir malam untuk sholat tahajud. Dimana pada jam-jam tersebut merupakan waktu yang paling asyik menikmati tidur.Sehingga untuk terwujudnya ketaatan dengan melakukan sholat tahajud seseorang rela harus menahan kantuk dan bersabar melawan godaan hawa nafsu yang mengajak untuk menikmati tidur panjang. Dan tentu ini dirasakan sebagai sebuah kesulitan dan pahit dirasakan bagi sebagian orang.
Yang lebih berat lagi sebagai ujian dirasakan oleh orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, selain harus mengeluarkan harta untuk ongkos berangkat, meninggalkan keluarga dan bersusah payah dalam melakukan ibadah manasik haji yang memerlukan tenaga ekstra sangat membutuhkan pengorbanan yang luar biasa. Yang untuk itu orang-orang yang berangkat haji sekuat tenaga untuk menahan diri dari berbagai godaan. Semuanya itu memerlukan kesabaran yang besar.
Ketaatan lain yang dirasakan agak sulit dilakukan oleh sebagian prang adalah dalam hal kewajiban menuntut ilmu agama, apalagi bagi orang-orang dewasa yang harus mengorbankan banyak hal termasuk waktu dan tenaga serta ketekunan seperti dalam menghadiri majelis ta’lim. Apabila seseorang tidak bersabar dan tidak sanggup atas godaan hawa nafsu yang tentunya syaitan bertengger diatasnya, maka tidak mungkin orang tersebut dapat bertahan lama dalam menuntut ilmu tersebut.
Sesungguhnya banyak sekali ujian dan kesulitan-kesulitan yang ditemui oleh hamba-hamba Allah dalam mendekatkan dirinya kepada Sang Penciptanya, namun ujian dan kesulitan tersebut bukanlah sesuatu masalah dan hambatan bagi mereka-mereka yang menyadarinya dan rela menghadapinya demi mendapatkan balasan yang setimpal, tapi akan menjadi hal yang sebaliknya bagi mereka yang masih belum mantap ketaatannya kepada Allah, ujian dan kesulitan yang ditemuinya malah menjadikannya malas, mundur dan urung menjalankan perintah-perintah agama. Malah mereka memilih untuk melakukan perbuatan yang melanggar rambu-rambu larangan, karena disana akan dapat terpuaskan kepentingan hawa nafsu dan syahwat.
Jalan menuju surga yang banyak ujian dan kesulitan serta kepahitan di dalamnya hanyalah dapat dilalui oleh orang-orang yang tahan menghadapi ujian dan tahan pula merasakan kesulitan serta menelan rasa pahit sebagai bayaran dan kunci membuka surga. Orang-orang yang enggan menghadapi ujian dan tidak mau b ersusah payah dalam kesulitan dan rasa pahitnya dalam melakukan ketaatan jangan berharap akan masuk surga yang dijanjikan, yang cocok bagi mereka sesuai janji Allah Ta’ala tentunya adalah neraka yang paling tepat.
Allah Ta’ala berfirman :
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الأَنْهَارُ وَقَالُواْ الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ لَقَدْ جَاءتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُواْ أَن تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran." Dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." ( QS. Al-A’raf : 43 )
Firman Allah:
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (Az-Zukhruf: 72)
Firman Allah :
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Demikianlah. Surga didapatkan dengan berbagai macam ujian dan cobaan, rintangan, dan gangguan. Asy-Syaikh As-Sa'di t mengatakan: “Allah memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, dan kesulitan sebagaimana telah Dia lakukan atas orang-orang sebelum mereka. Ujian ini merupakan sunnatullah yang terus berlangsung, tidak akan berubah dan berganti. Barangsiapa yang melaksanakan ajaran agama dan syariat-Nya, pasti Dia akan mengujinya. Jika dia bersabar atas perintah Allah dan tidak peduli dengan segala rintangan yang terjadi di jalan-Nya, maka dialah orang jujur yang telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Dan itulah jalan menuju sebuah kepemimpinan. Namun barangsiapa menjadikan ujian dari manusia bagaikan siksa Allah, seperti dia terhalangi untuk melaksanakan ketaatan karena gangguan tersebut, menghalanginya dari meraih tujuannya, maka dia berdusta dalam pengakuan keimanan. Karena iman bukan sekadar hiasan, angan-angan, dan pengakuan. Amallah yang akan membenarkan atau mendustakannya
( Wallaahu Ta’ala ‘alam )
Bahan bacaan : Berbagai sumber
23 September 2011
Rabu, 21 September 2011
MISKINNYA PENGETAHUAN AGAMA MENYEBABKAN MERAJALELANYA SYIRIK
Upaya pengentasan kemiskinan yang melanda sebagian penduduk negeri yang mayoritas muslim ini menjadikan kita sibuk untuk mengejar pemenuhan kebutuhan hidup b erupa materi. Padahal disatu sisi ada kemiskinan yang lebih parah yang dilupakan oleh banyak orang, dimana kemiskinan ini melanda hampir sebagian besar penduduk .Persentasenya Jauh lebih besar dari kemiskinan akan materi. Karena kemiskinan ini tidak hanya melanda kaum duafa atau fakir miskin dari harta tetapi juga melanda kaum yang berada. Tidak saja melanda mereka-mereka yang berpendidikan rendah tetapi juga melanda mereka-mereka yang berpendidikan tinggi. Kemiskinan ini
melanda hampir semua kalangan kaum muslimin.
Kemiskinan yang melanda sebagian terbesar umat islam tersebut sebenarnya tidak disadari, mereka umumnya menjalaninya dengan senang hati tanpa beban karena tidak berpengaruh secara langsung terhadap fisik sebagaimana yang dirasakan kalau mereka miskin terhadap materi. Mereka tidak menyadari bahwa kemiskinan yang melanda hidup mereka tersebut akan berbuntut panjang kelak dan bahkan akan membawa derita yang berkepanjangan.
Kemiskinan tersebut tidak lain adalah berkaitan dengan kurangnya penguasaan umat akan ilmu yang berkaitan dengan syari’at islam yang dijadikan pegangan dalam beragama. Sehingga dengan miskinnya akan syari’at yang telah digariskan baik oleh al-Qur’an maupun oleh as-sunnah yang mereka lakukan baik dalam beraqidah dan beribadah serta bermuamalah berakibat sangat jauh melenceng dari tuntutanan.
Sebenarnya miskinnya penguasaan terhadap ilmu yang syar’i berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak saja ada dilingkungan orang-orang yang awam, tetapi juga meliputi kalangan yang disebut-sebut sebagai da’i, ustadz/ustazdah, guru-guru agama bahkan juga sebagian orang-orang yang mengaku sebagai ulama.
Fenomena kemiskinan sebagian besar umat muslim dinegeri ini akan ilmu syari’at yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunah sangat nampak nyata dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan aqidah maupun ibadah dan muamalah yang tidak sejalan dengan tuntunan syari’at.
Miskin pengetahuan tentang tauhid
Kaum muslimin mengaku taat dan cinta kepada Allah dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, tetapi pada praktek kehidupan sehari-harinya mereka banyak membelakangi Allah dan Rasul, tidak menta’ati segala apa yang diperintahkan dan tidak menjauhi apa yang menjadi larangan..
Karena miskin terhadap pengetahuan mengenai ilmu tentang tauhid dalam islam, dimana-mana sering kita melihat masyarakat melakukan kegiatan ritual pemberian sesajen sebagai sesembahan bagi penguasa laut, bumi, gunung dan lain-lainnya sebagai ungkapan terimakasih atas rezeki dan keselamatan dan perlindungan yang diberikan kepada mereka oleh yang dianggap sebagai penguasa tersebut. Ritual tersebut nyata-nyata sebagai perbuatan syirik, karena mengakui adanya kekuatan lain atau penguasa lain dialam ini selain Allah. Namun para pelaku syirik tersebut berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah dalam rangka melestarikan adat budaya tradisi warisan leluhur dan hanyalah sekedar pesta adat. Mereka mengaku sebagai kaum yang beriman kepada Allah sebagaimana yang diikrarkan dalam pengucapan duakalimah syahadat, mengakui bahwa Allah itu maha pencipta, tetapi mereka melakukan penyembahan dan meminta perlindungan kepada selain –Nya. Padahal dalam al-Qur’an Allah Subhanaahu wa Ta’ala
Berfirman :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
( QS. Muhammad : 19 ).
Dilain tempat dalam al-Qur’an dicantumkan firman Allah :
وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ لاَ يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ
Dan sesembahan –sesembahan yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.( QS. An Nahl : 20 )
Firman Allah Subhanaahu wa Ta’ala :
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa'atan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi [678]?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu). ( QS.Yunus : 18
Allah berfirman :-
وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". ( QS. Ynus :106)
Dilain surah Allah berfirman :
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (QS. Al’ankabuut : 29)
Kebanyakan orang-orang mengingkari apa yang telah ditetapkan Allah, dan berpegang kepada pendapat akal dan perasaan semata ataun apa yang disampaikan oleh ustadz, tuan guru atau kiayi meskipun bertentangan dengan Al-Qur’an.
Miskinnya penguasaan ilmu yang berkaitan dengan pentauhidkan Allah nampak pula dari ulah kebanyakan umat islam yang melakukan penyembelihan hewan untuk selain Allah, dimana kebiasaan mereka apabila ada pekerjaan atau proyek pembangunan jalan atau jembatan atau membuka tambang sebelum dimulai pekerjaan mereka melakukan penyembelihan hewan dan kepala nya dikubur sebagai bentuk sesembahan kepada makhluk gaib ditempat itu agar kegiatan yang mereka lakukan tidak mengalami hambatan dan diberikan izin oleh jin penunggunya.
Penyembelihan hewan untuk selain Allah seperti yang dilakukan tersebut diatas merupakan bagian dari bentuk syirik yang diharamkan Allah. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullas shalallahu’alaihi wa salllam dalam sabda beliau :
“ Allah melaknat siapa saja yang menyembelih binatang untuk selain Allah “
Bukti lain yang menunjukkan bahwa sebagian besar umat islam di negeri ini ternyata sangat miskin akan ilmu yang berkaitan dengan mentauhidkan Allah ditunjukkan pula dengan ramainya orang-orang yang berziarah ke kuburnya para wali dan kubur-kubur yang dikeramatkan untuk beribadah dan meminta kepada wali atau orang yang dikramatkan tersebut agar mengabulkan hajat mereka.Ziarah ke kubur tersebut malah dipimpin oleh ustadz, tuan guru atau kiayi dari pesantren. Banyak umat islam yang sengaja melakukan syafar meninggalkan kampung berangkat secara berombongan ke kubur para wali atau ke kubur kramat dengan nama tour wisata relegius. Bahkan rombongan tersebut kebanyakan dari majelis ta’lim dari berbagai pelosok.
Melakukan itikaf dan ibadah-ibadah lainnya bahkan sholat diatas kuburan dan meminta hajatnya dikabulkan, menurut yang memimpin rombongan ziarah (ustadz, tuan guru atau kiayi) bukanlah perbuatan syirik, karena yang mereka lakukan tersebut hanyalah bertawassul kepada roh wali atau orang yang dikramatkan yang ada di dalam kubur. Padahal sebenarnya bertawassul kepada orang yang sudah mati termasuk yang diharamkan oleh syari’at.Tapi karena mereka-mereka yang berziarah termasuk para pembimbing atau pimpinan rombongan termasuk orang-orang yang miskin atau terbatas kemampuan akan ilmu, maka terjadilah penyimpangan dalam hal aqidah mereka.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan para nabi dan orang-orang shaleh dijadikan sebagai masjid dengan melakukan berbagai ibadah seperti membaca al-Qur’an, sholat, itikab dll. Dalam shahih Muslim dari Jundub bin Abdullah bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam berkata lima kali sebelum meninggal :
“ Bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid
Karena itu ingat, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid. Aku melarang kalian berbuat demikian “
Dalam Al Shahihain dari Aisyah bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam berkata sebelum meninggal :
“ Allah mengutuk orang-orang yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah “
Selain contoh yang dikemukakan tersebut diatas banyak lagi contoh-contoh lain yang menggambarkan terjadinya perbuatan syirik kepada Allah yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang mengaku sebagai muslim dikarenakan miskinnya pengetahuan mereka tentang tauhid dalam agama islam. Contohnya antara lain banyaknya orang-orang yang percaya dan datang kepada dukun dan tukang-tukang sihir untuk b erbagai kepentingan, baik untuk meminta pengobatan, meminta jodoh, meminta pesugihan, mendzalimi orang-orang yang tidak disenangi, meminta penglaris, pengasih dan banyak lagi kepentingan lainnya.
Syari’at Islam sangat melarang umatnya berhubungan dengann tukang sihir, sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah surah Al-Baqarah ayat 2 :
“sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”
Selain dari itu Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiallahuu anhum, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “ Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran “ Para sahabat berkata , “ Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara itu?. Beliau berkata, “ Syirik kepada Allah, sihir,membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allahkecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita yang terjaga sdari perbuatan dosa sedangkan ia tidak tahun menahu tentangnya dari berimana (kepada Allah) ”
Begitu pula halnya syari’at Islam melarang umatnya untuk datang kedukun dan mempercayai mereka, sebagaimana yang digariskan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang diriwayatkan Abu daud d ari Abu Hujrairah radialaahu anhum dari Nabi, beliau bersabda :” Barang siapa mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya maka ia benar-benar kafir terhadap apa ytang diturunkan kepada Muhammad “
Dihadits lain disebutkan dari Imran bin Hushain radhialahuu ‘anhum secara marfu :
“ Tidak termasuk golongan kami orang yang meramal atau meminta diramal, dan orang melakukan praktek perdukunan atau orang yang meminta ditangani dukun, menyihir atau memninta disihirkan B arang siapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya,maka ia benar-benar kafir terhdap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad ( HR . Riwayat Al Bazzar. Atth-Thabarani )
Syari’at Islam secara tegas melarang umatnya berhubungan dengan para tukang sihir dan para dukun serta mempercayai mereka, tetapi pada prakteknyha banyak sekali dari kalangan umat yang melakukannya, ini tiada lain karena miskinnya pengetahuan mereka akan hal-hal yang dilarang.
Miskinnya akan pengetahuan sebagian besar umat Islam terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ketauhidan menyebabkan mereka menggantungkan nasib mereka kepada jimat-jimat, benda-benda pusaka dan barang-barang bertuah lainnya yang dikramatkan dan dianggap oleh mereka dapat memberikan berbagai dan manfaat.Padahal Islam sejak awal juga telah menggariskan larangan akan hal penggunaan jimat tersebut.
Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir secara marfu:
“ Barang siapa menggantungkan tamimah ( jimat) , semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya
Danbarang siapa menggantungkan wada’ah (kerang) semoga Allah tidak member ketenangan pada dirinya” Disebutkan dalam riwayat lain, “Barang siapa menggantungkan tamimah (jimat) , maka dia telah berbuat syirik.”
Imam Ahm ad meriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiallahuu ‘anhum, bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang ditangannya terdapat gelang kuningan. Lalu beliau bertanya : “ apakah ini ?”Orang itu menjawab : “ Penangkal sakit “ Nabi pun bersabda : “Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya,.”
Meskipun syari’at secara tegas melarang penggunaan jimat,namun banyak kaum muslimin yang menggunakannya, hal ini tiada lain miskinnya mereka terhadap pengetahuan yang berkaitan dengan syari’at.
Miskin Pengetahuan tentang as-Sunnah Rasul
Selain merajalelanya prilaku syirik ditengah-tengah masyarakat muslim, tidak kalah pula berkembang dengan pesatnya ibadah yang bersifat bid’ah yang tidak sejalan dengan as-Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Berkembangnya bid’ah tersebut tidak lepas dari peran para da’I, ustadz, tukang khotbah, tuan guru, kiayi dan ulama yang mengajarkan agama kepada jama’ahnya yang lebih suka menggunakan hadits-hadits dha’if dan ma’udhu sebagai dalil dan argumentasi dalam memberikan pengajaran .Mereka kebanyakan lebih mengedepankan pertimbangan akal,pikiran dan perasaan serta hawa nafsu ketimbang dalil yang shahih. Mereka meninggalkan cara beragamanya para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam mazhab serta ulama salafus shalih yang secara murni mengambil dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Banyak sekali gambaran ibadah-ibadah bid’ah yang berkembang dan dilakukan secara rutin oleh masyarakat muslim, yang pada kesempatan ini diketengahkan beberapa contoh saja.
Dimana-mana selamatan peringatan hari kematian yang disebut haulan atau kenduri arwah sudah merupakan suatu kelaziman dilakukan dan keluarga yang meninggal merasa masih mempunyai sangkutan hutang pada yang meninggal apabila tidak dilakukan kenduri arwah setelah meninggalnya mulai 3 hari, 7 hari, 25 hari, 40 hari, 100 hari sampai setahun dan seterusnya tiap tahun dilakukan hal yang sama. Padahal kegiatan yang disebutkan sebagai ibadah tersebut samasekali tidak ada tuntunannya.
Imam Syafi’I sebagai imam mazhab Syafi’I yang menjadi panutan oleh hampir sebagian terbesar masyarakat di Indonesia tidak membenarkan hal tersebut
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya “Al-Umm”:“Dan aku membenci membuat perkumpulan iaitu berkumpul,walaupun dalam majlis itu tidak terdapat tangisan (ratapan) kerana sesungguhnya perkara itu (berkumpul) akan mengembalikan kesedihan dan memberikan beban berdasarkan atsayang telah lalu. (Al-Umm)
Yang dimaksudnya atsar oleh Imam Asy-Syafi’i tersebut adalah atsar yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdulullah Al-Bajali radhiallahu ‘anhu:“Kami mengira berhimpun orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan selepas pengkebumiannya adalah sebahagian dari ratapan kematian.”(Hadis riwayat Ahmad dalam Musnadnya)
Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengulas perkataan Imam Asy-Syafi’idi atas tadi dengan mengatakan:“Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama yanglain berpendapat berdasarkan dalil yang lain bahwa perbuatan itu(yakni mengadakan perkumpulan) adalah merupakan perkara yang baru.”(Al-Majmu’)
Selain upacara peringatan kematian atau haulan atau kenduri bagi arwah
Ditengah-tengah masyarakat muslim juga sudah suatu kelaziman untuk mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an yang dilakukan orang-orang yang melayat ditempat orang kematian, atau juga pada setiap hari juma’at dimana jama’ah jumat dimintakan untuk membaca surah al-Fatihah yang pahalanya untuk para arwah dari keluarga yang memberikan sumbangan/sedeqah pada masjid. Begitu pula mereka yang berziarah ke kubur selalu membacakan surah yasin dll.
Bagaimana pendapat Imam Syafii tentang baca Al Quran untuk orang yang telah meninggal? Dalam Tafsir Ibnu Kasir surah An Najm ayat 39: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." Ibnu kasir mengatakan "Dari pada ayat ini, telah keluar hukum dari Imam Syafi'i, sesungguhnya pahala bacaan-bacaan Quran ini tidak sampai kepada si mati, sebab itu bukan amalan orang mati dan bukan usaha orang mati, perkara inipun tak pernah disunnahkan oleh Nabi, dan amalan ini tak ada seorangpun shahabat nabi yg mengerjakan".
Selanjutnya Ibnu Kasir menambahkan perkataan Imam Syafi'i "Kalaulah menghadiahkan pahala ini kepada simati sampai dan itu baik, niscaya hal ini sudah dikerjakan pertama sekali oleh Nabi Sallallahu 'alaihi wassalam dan oleh Para Sahabat."
Adapun amalan membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada si mati. Maka dalam masalah ini Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan tentang pendapat jumhur dalam mazhab Syafi’i yaitu kata beliau:
“Dan adapun pembacaan Al-Qur’an, maka yang masyhur dari mazhab Syafi’i bahawa ianya tidak sampai kepada mayat sedangkan sebahagian sahabatnya mengatakan: Pahalanya sampai kepada mayat.” (Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim, dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, 1/25)
Firman Allah Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Maksudnya: “Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya.” (Surah An-Najm: 39) Al-Hafiz Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata“Dan melalui ayat yang mulia ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya mengistinbatkan hukum bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak sampai kepadanya kerana bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka (orang mati). Oleh kerana itu, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mensunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perkara tersebut, serta tidak pula menunjukkan kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dengan satu nas (dalil).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, 7/465)
Al-Haitami rahimahullah yang merupakan ulama dalam mazhab Syafi’i
berkata dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah:
“Si mati tidak boleh dibacakan apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama
mutaqaddimin (terdahulu) bahawa bacaan (yang pahalanya dikirmkan kepada si mati)
adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya
sahaja. Sedangkan hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan)
perbuatan itu berdasarkan firman Allah (yang bermaksud): “Dan bahawasanya seseorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Termasuk perbuatan bid’ah yang sudah mendarah daging dalam kehidupan
Sebagian terbesar umat muslim di Indonesia yang bermazhab Syafi’i adalah berdzikir
dengan suara keras secara berjama’ah setelah sholat fardhu dipimpin oleh imam.
Dalam hal ini Imam Syafi’i b erkata :
“Imam dan makmum boleh memilih sama ada ingin berzikir kepada Allah (atau tidak) selepas solat. Dan mereka hendaklah memperlahankan zikir kecuali dia merupakan seorang imam. Imam wajib mengajari makmum berzikir, maka hendaklah dia kuatkan zikirnya sehingga dia melihat bahawa telah dipelajari darinya (zikir-zikir tersebut). Kemudian hendaklah dia perlahankan semula. (Al-Umm, )
Kemudian Imam Syafi’i juga menyebutkan :
“Aku berpendapat baginda (Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam) menguatkan suara ketika
berzikir hanya untuk seketika sahaja. Tujuannya agar para sahabat dapat mempelajari
zikir itu daripadanya. Ini kerana, kebanyakan riwayat yang telah kami tulis sama ada bersama kitab ini (Al-Umm) atau selainnya langsung tidak menyebut adanya bacaan tahlil atau takbir selepas baginda memberi salam. Kadang-kadang riwayat yang datang menyebut
baginda berzikir selepas solat seperti apa yang aku nyatakan (secara kuat) dan kadangkala baginda beredar (meninggalkan saf) tanpa berzikir. Menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ummu Salamah, baginda tidak berzikir secara kuat selepas solat. Oleh itu, aku berpendapat bahawa baginda tidak akan duduk sama sekali kecuali berzikir tanpa dikuatkan suara.” (Al-Umm)
Bid’ah lain yang sudah dijadikan sebagai agenda tetap untuk dilakukan adalah
Penyelengaraan beberapa peringatan yang disebut hari besar islam seperti peringatan MaulidNabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam, peringatan Isra Mi’raj, peringatan malam NuzulQur’an yang dilaksanakan secara berjama’ah
Termasuk ke dalam perkara bid’ah adalah dzikir berjama’ah dengan suara keras sambil menangis, membaca surah yasin secara beramai-ramai dengan suara keras dan membaca shalawat buatan para penya’ir yang didalamnya terdapat kalimat pujian berlebihan kepada nabi Muhammad shallalahu’alaihi wa sallam seperti shalawat Nariah, barzanzi, burdah, shalawat al-patih dll.
Semua yang disebutkan diatas termasuk bid’ah karena tidak ada satupun dalil yang menyebutkan bahwa Rasulullah dan para sahabat beliau pernah melakukannya atau pernah mencontohkannya sehingga dapat dijadikan pijakan dasar hukum.
Beberapa hadits yang shahih menyebutkan ditolaknya amalan yang bersifat bid’ah, antara lain hadits dari Aisyah , ia berkata “ telah bersabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam : “ Barang yang mengerjakan sesuatu amal yang tidak ada keterangannya dari Kami ( Allah dan rasul-Nya), maka tertolaklah amalannya “(HR. Muslim).
Di hadits yang lain disebutkan : “Amma ba’du. Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah ( al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk ad alah petunjuk Muhammad shallalahu’alaihi wa sallam.Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru ( muhdats ) dan setiap muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
(HR. Muslim )
Berkembangnya bid’ah di tengah-tengah masyarakat muslim hampir disemua kalangan tidak lain adalah karena miskin n ya pengetahuan mereka akan as-Sunnah Rasul, dan mereka beranggapan apa saja yang diajarkan atau disampaikan oleh para da’I, ustadz, tuan guru, kiayi atau tukang khotbah sudah benar dan patut untuk diikuti, meskipun apa yang disampaikan tersebut tidak b erdasarkan dalil yang shahih. Sedangkan dilain pihak kebanyakan para da’I,ustadz, tuan guru, kiayi dan tukang khotbah
ternyata juga miskin pengetahuannya akan as-Sunnah.
Masyarakat menganggap bahwa kebanyakan mereka-mereka yang diikuti baik para da’ i, ustadz, tuan guru, kiayi, ulama dan tukang khotbah sudah mumpuni keilmuannya, namun ternyata mereka lebih memilih menggunakan hadits-hadits dha’if dan mau’dhu. Bahkan lebih mengedepankan pendapat bertdasarkan akal pikiran serta hawa nafsu. Semua itu tidak lain disebabkan miskinnya mereka akan ilmu mengenai as-Sunah. Parahnya lagi mereka tidak menyadari akan hal tersebut sehingga tidak b erupaya untuk melakukan perbaikan diri.
Miskinnya pengetahuan masyarakat secara luas hanya dapat diatasi dengan kemauan mereka untuk kembali belajar menuntut ilmu yang syar’I melalui peningkatan pengetahuan baik melalui kegiatan i majelis ta’lim yang diselenggarakan kelompok-kelompok pengajian yang berpatokan kepada manhaj para sahabat dan salafus shalih.
Bukan majelis ta’lim yang lebih banyak berbicara tentang tasyawwuf.
Wallaahu ta’ala ‘alam.
Diambil dari berbagai sumber yang shahih.
( by: Musni Japrie )
MEMPERINGATI HARI KEMATIAN /HAUL UNTUK ARWAH YANG MENINGGAL BUKAN DARI SYARI'AT ISLAM
By : musni japrie
Menyelenggarakan kenduri bagi arwah yang telah meninggal atau sering juga disebut haulan yang lazim diselenggarakan oleh sebagian terbesar masyarakat muslim di Indonesia dianggap salah satu bagian dari ajaran islam untuk mengirimkan pahala bacaan beberapa surah al-Qur’an bagi arwah yang telah meningga dunia.
Penyelenggaraan peringatan tersebut dilakukan oleh kebanyakan kalangan masyarakat Islam dikarenakan adanya contoh yang mereka ikuti dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka jadikan panutan seperti ustadz, tokoh-tokoh agama bahkan para kiayi dari pondok-pondok pesantren yang rata-rata bermazhab Syafi’i. Sehingga berkembanglah anggapan ditengah masyarakat bahwa kenduri kematian atau haul untuk arwah yang meninggal adalah merupakan bagian dari apa yang difatwakan dan sejalan dengan tuntunan yang berasal dari Imam Syafi’i. Karenanya masyarakat menganggap bahwa kenduri peringatan kematian atau haul bagi arwah yang meninggal adalah bagian dari syari’at Islam.
Tetapi apabila kita secara jujur mencari dari sumber kitab yang dijadikan rujukan bagi pengikut mazhab Syafi’i yaitu Al-Umm, kitab fiqih pegangan mazhab
Syafi’i, maka di dalamnya samasekali tidak terdapat satu kalimatpun yang menyebutkan adanya perintah atau anjuran dari Imam Syafi’i yang berkenaan dengan
kenduri peringatan kematian atau haul bagi arwah yang meninggal yang didalamnya dilakukan pembacaan beberapa surah al-Qur’an yang pahalanya dikirimkan untuk si arwah yang meninggal.
Apa yang dilakukan oleh sebagian terbesar masyarakat muslim yang bermazhab Syafi’i melakukan kenduri peringatan kematian atau haul arwah yang meninggal ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang difatwakan oleh Imam Syafi’i , imam panutan mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i rahimahulaah dalam kitab yang disusun beliau dengan nama “AL-UMM “ tidak merekomendasikan penyelenggaraan kenduri kematian atau haul bagi arwah yang meninggal.
Simaklah apa yang ditulis oleh Imam Syafi’I rahimahullah dalam kitab beliau
Al-Umm :
“Aku suka jiran si mati atau orang yang mempunyai pertalian keluarga dengannya
(keluarga jauh) memberi makan kepada ahli mayat, yang mengenyangkan mereka
pada hari dan malamnya. Kerana itu adalah sunnat dan ingatan (zikir) yang mulia,
dan ianya adalah perbuatan golongan yang baik-baik sebelum dan selepas kita.
Ini kerana apabila tiba berita kematian Ja’far, Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Buatlah kamu makanan kepada keluarga
telah datang perkara yang mengharukan kepada mereka.” (Al-Umm)
Selain itu dalam kitab Al-Umm Imam Syafi’I juga menyebutkan :
“Dan aku membenci membuat perkumpulan iaitu berkumpul, walaupun dalam majlis
itu tidak terdapat tangisan (ratapan) kerana sesungguhnya perkara itu (berkumpul)
akan mengembalikan kesedihan dan memberikan beban berdasarkan atsar yang
telah lalu.” (Al-Umm)
Yang dimaksudnya atsar oleh Imam Asy-Syafi’i tersebut adalah atsar
yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdulullah Al-Bajali radhiallahu ‘anhu:
“Kami mengira berhimpun orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan
selepas pengkebumiannya adalah sebahagian dari ratapan kematian.”
(Hadis riwayat Ahmad dalam Musnadnya; Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sahih
dalam Takhrijnya ke atas Musnad Ahmad, no: 6905)
Salah seorang ulama besar dan terkenal dari mazhab Syafi’i yaitu
Imam An-Nawawi rahimahullah mengulas perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas tadi dengan mengatakan:
“Pengarang (Imam Asy-Syafi’i) dan ulama-ulama yang lain berpendapat berdasarkan
dalil yang lain bahwa perbuatan itu (yakni mengadakan perkumpulan) adalah merupakan
perkara yang baru.” (Al-Majmu’)
Selain itu Imam An-Nawawi juga berkata:
“Dan adapun berkumpul untuk takziah, maka Asy-Syafi’i dan pengarang Al-Musannif,
mereka telah menetapkan bahwa perbuatan itu adalah perkara yang dibenci.
Syeikh Abu Hamid telah menukilkan dalam At-Ta’liq dan ulama yang lain daripada
nas Asy-Syafi’i berkata: Yakni duduk takziah yaitu keluarga si mati berkumpul di rumah,
lalu mereka menunggu orang yang ingin bertakziah. Beliau berkata: Mereka mengatakan:
Bahkan hendaklah mereka pergi untuk berusaha memenuhi keperluan hidup mereka.
Maka barang siapa yang serempak menemui mereka, maka bolehlah dia bertakziah
kepada mereka. Tidak ada perbedaan di antara kaum lelaki dan kaum perempuan
pada larangan duduk berkumpul untuk bertakziah.” (
Demikianlah sunnah dalam berlakunya kematian adalah memberi makanan kepada keluarga si mati kemudian mengucapkan takziah kepadanya.Inilah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama
Adapun amalan membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada si mati. Maka dalam masalah ini Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan
tentang pendapat jumhur dalam mazhab Syafi’i Yaitu kata beliau:
“Dan adapun pembacaan Al-Qur’an, maka yang masyhur dari mazhab
Syafi’i bahawa ianya tidak sampai kepada mayat sedangkan sebahagian
sahabatnya mengatakan: Pahalanya sampai kepada mayat.” (Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim,)
Firman Allah Ta’ala:
“Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya.” (Surah An-Najm: 39)
Al-Hafiz Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Dan melalui ayat yang mulia ini, Imam Asy-Syafi’ rahimahullah
dan para pengikutnya mengistinbatkan hukum bahawa pahala bacaan
(Al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak sampai kepadanya karena
bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka (orang mati). Oleh karena itu,
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mensunnahkan umatnya
dan menganjurkan mereka melakukan perkara tersebut, serta tidak pula
menunjukkan kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun
dengan satu nas (dalil).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim)
Al-Haitami rahimahullah yang merupakan ulama dalam mazhab Syafi’i berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah :
“Si mati tidak boleh dibacakan apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak
dari ulama mutaqaddimin (terdahulu) bahawa bacaan (yang pahalanya dikirimkan
kepada si mati) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu
adalah untuk pembacanya sahaja. Sedangkan hasil amalan tidak dapat dipindahkan.
Allah berfirman : “Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperolehselain telah diusahakannya.” (Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah,)
Ulama-ulama terdahulu lainnya dari mazhab Syafi’i khususnya yang
ulama Nusantara mengemukan tentang makan-makan ditempat keluarga yang meninggal sebagai berikut :
1 - Dalam Kitab Furu’il Masa’il karangan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani )
disebutkan :
“Dan demikian lagi yang dikerjakan manusia dengan barang yang dinamakan dia
dengan kaffarah dan daripada dikerjakan wahsyah yakni berhimpun memberi makan
awal malam kemudian daripada ditanam mayat dan tujuh harinya dan dua puluh
dan empat puluh dan umpamanya, yang demikian itu haramkah atau makruh
atau harus. (Maka dijawabnya) Maka adalah segala yang tersebut makruh yang dicela pada syarak kerana tegah pada syarak kata syeikh Ibn Hajar tiada sah wasiatnya.”
2 – Dalam Kitab Sabil Al-Muhtadin yang dikarang oleh Syeikh Muhammad
Arsyad bin Abdullah al-Banjari, beliau mengemukan sebagai berikut :
“Dan makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang disukanya
manusia atas makan dia dahulu daripada menanam dia dan kemudian daripadanya
seperti yang telah teradat dan demikian lagi makruh lagi bid'ah bagi segala
mereka yang diserunya perkenankan seruannya”
Peringatan hari kematian dengan menyelenggarakan selamatan/kenduri bagi arwah yang
telah meninggal tidak disyari’atkan di dalam Islam, tetapi di Indonesia oleh sebagain kalangan sepertinya sudah dianggap seperti syari’at, padahal tradisi menyelenggarakan peringatan hari kematian berupa kenduri itu diwarisi dari tradisi leluhur sebelum Islam masuk ke Indonesia. Agar peringatan tersebut dapat diterima di kalangan umat islam diberilah tambahan dengan bacaan-bacaan yang diambil dari al-Qur’an seperti surah Yasin, Al-Fatihah, al-Ikhlas, An-Nas ,Al-Falak, juga tidak ketinggalan dzikir-dzikir berupa Takbir, Tasybih dan Takhmid. Kemudian ditutup dengan pembacaan do’a arwah.
Di kalangan masyarakat muslim memperingati hari kematian atau haulan atau juga kadang-kadang disebut juga tahlilan dianggap sebagai kegiatan untuk mengirimkan pahala dari bacaan-bacaan ayat-ayat al-Qur’an sehingga lahirlah anggapan bahwa haul/tahlilan merupakan bagian dari syari’at islam. Namun karena tidak ada satupun catatan riwayat bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in dan ulama salafus shalih yang pernah melakukannya maka jadilah kegiatan memperingati hari kematian atau haul untuk arwah yang telah meninggal sebagai bid’ah. Sedangkan bid’ah itu sangat terlarang dan dikatakan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam adalah sesat dan sesat itutempoatnya dineraka (Wallaahu’alam )
Dikutip dari berbagai sumber
Menyelenggarakan kenduri bagi arwah yang telah meninggal atau sering juga disebut haulan yang lazim diselenggarakan oleh sebagian terbesar masyarakat muslim di Indonesia dianggap salah satu bagian dari ajaran islam untuk mengirimkan pahala bacaan beberapa surah al-Qur’an bagi arwah yang telah meningga dunia.
Penyelenggaraan peringatan tersebut dilakukan oleh kebanyakan kalangan masyarakat Islam dikarenakan adanya contoh yang mereka ikuti dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka jadikan panutan seperti ustadz, tokoh-tokoh agama bahkan para kiayi dari pondok-pondok pesantren yang rata-rata bermazhab Syafi’i. Sehingga berkembanglah anggapan ditengah masyarakat bahwa kenduri kematian atau haul untuk arwah yang meninggal adalah merupakan bagian dari apa yang difatwakan dan sejalan dengan tuntunan yang berasal dari Imam Syafi’i. Karenanya masyarakat menganggap bahwa kenduri peringatan kematian atau haul bagi arwah yang meninggal adalah bagian dari syari’at Islam.
Tetapi apabila kita secara jujur mencari dari sumber kitab yang dijadikan rujukan bagi pengikut mazhab Syafi’i yaitu Al-Umm, kitab fiqih pegangan mazhab
Syafi’i, maka di dalamnya samasekali tidak terdapat satu kalimatpun yang menyebutkan adanya perintah atau anjuran dari Imam Syafi’i yang berkenaan dengan
kenduri peringatan kematian atau haul bagi arwah yang meninggal yang didalamnya dilakukan pembacaan beberapa surah al-Qur’an yang pahalanya dikirimkan untuk si arwah yang meninggal.
Apa yang dilakukan oleh sebagian terbesar masyarakat muslim yang bermazhab Syafi’i melakukan kenduri peringatan kematian atau haul arwah yang meninggal ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang difatwakan oleh Imam Syafi’i , imam panutan mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i rahimahulaah dalam kitab yang disusun beliau dengan nama “AL-UMM “ tidak merekomendasikan penyelenggaraan kenduri kematian atau haul bagi arwah yang meninggal.
Simaklah apa yang ditulis oleh Imam Syafi’I rahimahullah dalam kitab beliau
Al-Umm :
“Aku suka jiran si mati atau orang yang mempunyai pertalian keluarga dengannya
(keluarga jauh) memberi makan kepada ahli mayat, yang mengenyangkan mereka
pada hari dan malamnya. Kerana itu adalah sunnat dan ingatan (zikir) yang mulia,
dan ianya adalah perbuatan golongan yang baik-baik sebelum dan selepas kita.
Ini kerana apabila tiba berita kematian Ja’far, Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Buatlah kamu makanan kepada keluarga
telah datang perkara yang mengharukan kepada mereka.” (Al-Umm)
Selain itu dalam kitab Al-Umm Imam Syafi’I juga menyebutkan :
“Dan aku membenci membuat perkumpulan iaitu berkumpul, walaupun dalam majlis
itu tidak terdapat tangisan (ratapan) kerana sesungguhnya perkara itu (berkumpul)
akan mengembalikan kesedihan dan memberikan beban berdasarkan atsar yang
telah lalu.” (Al-Umm)
Yang dimaksudnya atsar oleh Imam Asy-Syafi’i tersebut adalah atsar
yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdulullah Al-Bajali radhiallahu ‘anhu:
“Kami mengira berhimpun orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan
selepas pengkebumiannya adalah sebahagian dari ratapan kematian.”
(Hadis riwayat Ahmad dalam Musnadnya; Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sahih
dalam Takhrijnya ke atas Musnad Ahmad, no: 6905)
Salah seorang ulama besar dan terkenal dari mazhab Syafi’i yaitu
Imam An-Nawawi rahimahullah mengulas perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas tadi dengan mengatakan:
“Pengarang (Imam Asy-Syafi’i) dan ulama-ulama yang lain berpendapat berdasarkan
dalil yang lain bahwa perbuatan itu (yakni mengadakan perkumpulan) adalah merupakan
perkara yang baru.” (Al-Majmu’)
Selain itu Imam An-Nawawi juga berkata:
“Dan adapun berkumpul untuk takziah, maka Asy-Syafi’i dan pengarang Al-Musannif,
mereka telah menetapkan bahwa perbuatan itu adalah perkara yang dibenci.
Syeikh Abu Hamid telah menukilkan dalam At-Ta’liq dan ulama yang lain daripada
nas Asy-Syafi’i berkata: Yakni duduk takziah yaitu keluarga si mati berkumpul di rumah,
lalu mereka menunggu orang yang ingin bertakziah. Beliau berkata: Mereka mengatakan:
Bahkan hendaklah mereka pergi untuk berusaha memenuhi keperluan hidup mereka.
Maka barang siapa yang serempak menemui mereka, maka bolehlah dia bertakziah
kepada mereka. Tidak ada perbedaan di antara kaum lelaki dan kaum perempuan
pada larangan duduk berkumpul untuk bertakziah.” (
Demikianlah sunnah dalam berlakunya kematian adalah memberi makanan kepada keluarga si mati kemudian mengucapkan takziah kepadanya.Inilah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama
Adapun amalan membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada si mati. Maka dalam masalah ini Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan
tentang pendapat jumhur dalam mazhab Syafi’i Yaitu kata beliau:
“Dan adapun pembacaan Al-Qur’an, maka yang masyhur dari mazhab
Syafi’i bahawa ianya tidak sampai kepada mayat sedangkan sebahagian
sahabatnya mengatakan: Pahalanya sampai kepada mayat.” (Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim,)
Firman Allah Ta’ala:
“Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya.” (Surah An-Najm: 39)
Al-Hafiz Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Dan melalui ayat yang mulia ini, Imam Asy-Syafi’ rahimahullah
dan para pengikutnya mengistinbatkan hukum bahawa pahala bacaan
(Al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak sampai kepadanya karena
bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka (orang mati). Oleh karena itu,
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mensunnahkan umatnya
dan menganjurkan mereka melakukan perkara tersebut, serta tidak pula
menunjukkan kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun
dengan satu nas (dalil).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim)
Al-Haitami rahimahullah yang merupakan ulama dalam mazhab Syafi’i berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah :
“Si mati tidak boleh dibacakan apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak
dari ulama mutaqaddimin (terdahulu) bahawa bacaan (yang pahalanya dikirimkan
kepada si mati) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu
adalah untuk pembacanya sahaja. Sedangkan hasil amalan tidak dapat dipindahkan.
Allah berfirman : “Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperolehselain telah diusahakannya.” (Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah,)
Ulama-ulama terdahulu lainnya dari mazhab Syafi’i khususnya yang
ulama Nusantara mengemukan tentang makan-makan ditempat keluarga yang meninggal sebagai berikut :
1 - Dalam Kitab Furu’il Masa’il karangan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani )
disebutkan :
“Dan demikian lagi yang dikerjakan manusia dengan barang yang dinamakan dia
dengan kaffarah dan daripada dikerjakan wahsyah yakni berhimpun memberi makan
awal malam kemudian daripada ditanam mayat dan tujuh harinya dan dua puluh
dan empat puluh dan umpamanya, yang demikian itu haramkah atau makruh
atau harus. (Maka dijawabnya) Maka adalah segala yang tersebut makruh yang dicela pada syarak kerana tegah pada syarak kata syeikh Ibn Hajar tiada sah wasiatnya.”
2 – Dalam Kitab Sabil Al-Muhtadin yang dikarang oleh Syeikh Muhammad
Arsyad bin Abdullah al-Banjari, beliau mengemukan sebagai berikut :
“Dan makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang disukanya
manusia atas makan dia dahulu daripada menanam dia dan kemudian daripadanya
seperti yang telah teradat dan demikian lagi makruh lagi bid'ah bagi segala
mereka yang diserunya perkenankan seruannya”
Peringatan hari kematian dengan menyelenggarakan selamatan/kenduri bagi arwah yang
telah meninggal tidak disyari’atkan di dalam Islam, tetapi di Indonesia oleh sebagain kalangan sepertinya sudah dianggap seperti syari’at, padahal tradisi menyelenggarakan peringatan hari kematian berupa kenduri itu diwarisi dari tradisi leluhur sebelum Islam masuk ke Indonesia. Agar peringatan tersebut dapat diterima di kalangan umat islam diberilah tambahan dengan bacaan-bacaan yang diambil dari al-Qur’an seperti surah Yasin, Al-Fatihah, al-Ikhlas, An-Nas ,Al-Falak, juga tidak ketinggalan dzikir-dzikir berupa Takbir, Tasybih dan Takhmid. Kemudian ditutup dengan pembacaan do’a arwah.
Di kalangan masyarakat muslim memperingati hari kematian atau haulan atau juga kadang-kadang disebut juga tahlilan dianggap sebagai kegiatan untuk mengirimkan pahala dari bacaan-bacaan ayat-ayat al-Qur’an sehingga lahirlah anggapan bahwa haul/tahlilan merupakan bagian dari syari’at islam. Namun karena tidak ada satupun catatan riwayat bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in dan ulama salafus shalih yang pernah melakukannya maka jadilah kegiatan memperingati hari kematian atau haul untuk arwah yang telah meninggal sebagai bid’ah. Sedangkan bid’ah itu sangat terlarang dan dikatakan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam adalah sesat dan sesat itutempoatnya dineraka (Wallaahu’alam )
Dikutip dari berbagai sumber
BERSYUKUR TIDAK CUKUP HANYA DENGAN UCAPAN
By : Musni Japrie
Bersyukur adalah adalah menyampaikan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat karena kebaikan yang Dia berikan kepada hambanya. Namun tidak semua orang yang melakukannya, karena lupa atau menganggap remeh atas pemberian nikmat yang mereka rasakan tersebut atau sudah dianggap hal yang lumrah saja. Tetapi bagi sementara
yang lainnya bersyukur adalah kewajiban bagi setiap hamba untuk menyampaikan rasa terima kasih atau balasan membalas atas kebaikan yang mereka rasakan.
Yang dilakukan banyak orang dalam menyampaikan rasa terimakasih kepada Sang Khalik pemberi nikmat ialah dengan cara mengucapkan pujian melalui lisan. Namun sebenarnya hakekat bersyukur tidak hanya dengan ucapan atau lisan, tetapi juga harus dilakukan oleh hati yang menunjukkan keikhlasan dan dengan sikap perbuatan yang menunjukkan rasa pengagungan dan penghormatan serta keta’atan kepada Sang Pemberi.
Cara bersyukur yang dilakukan oleh seorang hamba seharusnya berlandaskan kepada tiga pilar, yaitu mengakui nikmat yang diterima atau dirasakan dengan menggunakan bahasa hati/bathin, menceritakannya secara lahitr melalui lisan dan yang ketiganya adalah menggunakannua untuk taat kepada Allah yang memberikan kenikmatan tersebut.
Bersyukur pada prinsifnya berhubungan erat antara hati dengan lisan dan anggota badan . hati untuk mengetahui dan mencintai, lisan untuk menyanjungdan memuji dengan kata-kata pujian sedangkan anggota badan untuk menggunakannhya dalam ketaatan kepada Allah yang disyukuri dan mencegah penggunaannya dalam melakukan kedurhakaan dan kemaksiatan kepada-Nya.
Allah Subhanaahu wa Ta’ala telah menyebutkan kata syukur beriringan dengan kata iman .Dan Dia mengabarkan b ahwa Dia tidak akan menyiksa makhluk-Nya jika mereka mau bersyukur dan beriman.
Allah berfirman :
مَّا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْ تُمْ وَآمَنتُمْ وَكَانَ اللّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri [370] lagi Maha Mengetahui.( QS . An-Nisa : 147)
Dengan firman tersebut Allah mengatakan jika kalian menunaikan tujuan penciptaan kalian –yaitu bersykur dan iman untuk apa Aku menyiksa kalian.
Dengan firman tersebut Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang mau bersyukur adalah orang-orang yang diberi keistimewaan dengan karunia-Nya.
Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dan memberikan kenikmatan yang tidak terhitung. Manusia tidak akan mampu menghitungnya.
Allah berfirman;
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 16:18)
Demikian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satupun manusia yang bisa menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun.?
Pemberian nikmat yang tak henti-hentinya setiap detik dan saat oleh Allah Yang Maha Pemberi kepada setiap makhluknya banyak yang tidak disadari oleh penerima nikmat sehingga mereka lupa bersyukur. Kebanyakan manusia baru mengucapkan syukur apabila nikmat yang diperoleh tersebut dianggap istimewa dari yang biasanya. Padahal manusia ini hidup dari nikmat Allah
Kebanyakan manusia dalam menyampaikan kesyukurannya kepada Allah Yang Maha Pemberi nikmat merasa cukup menggunakan lisannya dengan mengucapkan kalimat takhmid atau kalimat pujian :” Alhamdulillaah” saja.
Bentuk kesyukuran seorang hama kepada Allah atas nikmat yang tidak terbatas dan berlangsung tiada hentinya, tidak sekedar hanya dengan ucapan kalimat takhmid, karena kesyukuran dengan mengucapkan kalimat tahmid tidak cukup, mengingat seluruh nikmat yang diberikan tersebut adalah sebagai sarana untuk menuju kepada Allah.
1.Bersyukur dengan hati
Kunci kesyukuran atas segala nikmat yang Allah berikan kepada hambanya terletak pada hati, karena dihatilah terletak pengakuan b ahwa setiap nikmat berasal dari-Nya. Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang dinginkan dan dicari-cari.Nikmat ini harus diakui berasaldfari Allah Ta’ala dan tidak berlaku angkuh dengn menyatakan nikmat itu berasal dari usahanya semata atau merasa ia memang pantas mendapatkannya.
Mereka yang dihatinya tersirat sebesar biji sawi kesombongan tidak mengakui bahwa nikmat yang mereka rasakan bukan berasal dari Sang Maha Pemberi Allah Ta’ala maka sebenarnya mereka termasuk kedalam kelompok kufur nikmat dan tidak mau bersyukur.
Orang-orang yang menyadari dan mengakui bahwa nikmat yang tidak pernah berhenti dan setiap saat mereka peroleh datangnya bersumber dari Allah Ta’ala maka ia termasuk yang bersyukur.
Allah berfirman :
وَ
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Se- sungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".( QS. Ibrahim, : 7
Mungkin diantara kita ada yang bertanya, apakah memang ada diantara orang
Orang yang dihatinya mengingkari bahwa nikmat apa saja datangnya dari Allah Subhhanahu
Ta’ala. Hal yang sedemikian secara jelas nampak dilakukan oleh banyak orang yang melakukan ritual pemberian sesajen dalam pesta laut, sedekah bumi dan lain upacara lain-nya sebagai pengungkapan rasa syukur kepada sipenguasa yang diyakini mereka memberikan rezeki dan perlindungan. Adanya pengakuan seperti tersebut merupakan kufur terhadap pemberi nikmat.
Orang-orang yang dihatinya tersirat pengakuan bahwa setiap nikmat datangnya sebagai pemberian dan Allah Ta’ala, maka mereka termasuk kedalam golongan orang-orang yang beriman, karena mengakui keberadaan Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan nikmat kepada setiap hambanya.
Dengan demikian maka bersyukur dengan hati akan setiap nikmat yang datangnya dari Allah dan dirasakan oleh setiap hambanya adalah sangat penting kedudukannya dalam keimanan seseorang.
2.Bersyukur dengan lisan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam buku beliau Tazkiyatun Nafs menyebutkan bahwa : Pujian tidak terjadi kecuali dengan adanya nikmat dan itu merupakan inti dari syukur dan awal bentuk kesyukuran.Dan mensyukuri nikmat Allah tidak hanya cukup memuji tetapi harus dibarengi dengan tindakan memuji-Nya dengan lisan yaitu berzikir.
Syaikh DR. Ahmad Farid dalam buku beliau Manajemen Qalbu Ulama Salaf menyebutkan bahwa Hasan berkata : “ Banyak-banyaklah menyebut nikmat Allah, karena menyebut-nyebut nikmat adalah syukur “
Allah Subhanaahu Ta’ala telah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menceritakan nikmat Tuhannya kepada orang lain. Allah berfirman :
-
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap ni'mat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.( QS. Adh Dhuhaa : 11 )
Allah Ta’ala suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya .Karena hal itu berarti syukur dengan lisanul hal (realita).
Bentuk kesyukuran dengan lisan yang sangat mudah dan lazim disebutkan adalah mengucapkan “ Alhamdulillah “. Dimana seharusnya ucapan tersebut seharusnya menjadi bagian dari lisan kita pada setiap kesempatan. Bibir hendaknya selalu basah dengan kalimat tersebut, karena nikmat Allah selalu datang silih berganti dan sambung menyambung, disetiap tarikan nafas disitu nikmat Alllah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, )
Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat masalahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong.
3.Bersyukur dengan amal perbuatan
Bersyukur dengan amal perbuatan merupakan puncak dari kesyukuran atas nikmat yang Alllah Subhanaahu Ta’ala yang limpahkan kepada hamba-Nya. Yaitu dengan melakukan seluruh ketaatan berupa pengamalan setiap yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang oleh syari’at.Pengamalan perbuatan yang bersifat kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kemunkaran serrta kemaksiatan kepada Allah.
Allah Ta’ala menegaskan bahwa orang yang menyembah-Nya adalah orang-orang yang mau bersyukur dan orang yang tidak mau bersyukur adalah orang yang tidak mau menyembahnya. Allah b erfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikankepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah ( QS.Al-Baqarah : 172 )
Di dalam shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan b ahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam hingga telapak kakinya pecah-pecah. Dan ketika beliau ditanya: “Mengapa engkau lakukan ini sedangkan dosa-dosamu yangbtelah lalu dan yang akan datang sudah diampuni ?. Beliau menjawab:
“ Bukankah aku harus menjadi hamba yang pandai bersyukur
Pernahkah kita berpikir, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan demikian banyak nikmat kepada para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain? Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja
Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada bersyukur dengan hati dan lisan, namun hendaklah ditambah dengan memanfaatkan kenikmatan tersebut dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat. Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al-Quran, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur. Intinya] menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah (dengan anggota badan). Dengan demikian maka nikmat yang datangnya dari Allah Ta’ala hendaknya dimanfaatkan dalam amal ketaatan.
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:-
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرلَظُلعَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS.Luqman : 13 )
( Wallaahu ‘ala
Dipetik dari berbagai sumber
" MEWUJUDKAN KESYUKURAN DENGAN KETAATAN "
Bersyukur pada prinsifnya berhubungan erat antara hati dengan lisan dan anggota badan . hati untuk mengetahui dan mencintai, lisan untuk menyanjungdan memuji dengan kata-kata pujian sedangkan anggota badan untuk menggunakannhya dalam ketaatan kepada Allah yang disyukuri dan mencegah penggunaannya dalam melakukan kedurhakaan dan kemaksiatan kepada-Nya.
Allah Subhanaahu wa Ta’ala telah menyebutkan kata syukur beriringan dengan kata iman .Dan Dia mengabarkan b ahwa Dia tidak akan menyiksa makhluk-Nya jika mereka mau bersyukur dan beriman. Allah berfirman :
مَّا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْ تُمْ وَآمَنتُمْ وَكَانَ اللّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.( QS . An-Nisa : 147)
Dengan firman tersebut Allah mengatakan jika kalian menunaikan tujuan penciptaan kalian –yaitu bersyukur dan iman untuk apa Aku menyiksa kalian.
Dengan firman tersebut Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang mau bersyukur adalah orang-orang yang diberi keistimewaan dengan karunia-Nya.
Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dan memberikan kenikmatan yang tidak terhingga. Manusia tidak akan mampu menghitungny. Allah berfirman:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 16:18)
Pemberian nikmat yang tak henti-hentinya setiap detik dan saat oleh Allah Yang Maha Pemberi kepada setiap makhluknya banyak yang tidak disadari oleh penerima nikmat sehingga mereka lupa bersyukur. Kebanyakan manusia baru mengucapkan syukur apabila nikmat yang diperoleh tersebut dianggap istimewa dari yang biasanya. Padahal manusia ini hidup dari nikmat-nikmat Allah yang tidak pernah putus-putusnya mengalir bagaikan air dari sumbernya.
. Bersyukur dengan amal perbuatan merupakan puncak dari kesyukuran atas nikmat yang Alllah Subhanaahu Ta’ala yang limpahkan kepada hamba-Nya. Yaitu dengan melakukanseluruh ketaatan berupa pengamalan setiap yang diperintahkan dan meninggalkan segalayang dilarang oleh syari’at.Pengamalan perbuatan yang bersifat kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kemunkaran serrta kemaksiatan kepada Allah.
Allah Ta’ala menegaskan bahwa orang yang menyembah-Nya adalah orang-orang yang mau bersyukur dan orang yang tidak mau bersyukur adalah orang yang tidak mau menyembahnya. Allah b erfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikankepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah ( QS.Al-Baqarah : 172 )
Di dalam shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan b ahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam hingga telapak kakinya pecah-pecah. Dan ketika beliau ditanya: “Mengapa engkau lakukan ini sedangkan dosa-dosamu yangbtelah lalu dan yang akan datang sudah diampuni ?. Beliau menjawab:
“ Bukankah aku harus menjadi hamba yang pandai bersyukur
Pernahkah kita berpikir, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan demikian banyak nikmat kepada para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain? Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja
Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada bersyukur dengan hati dan lisan, namun hendaklah ditambah dengan memanfaatkan kenikmatan tersebut dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat. Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al-Quran, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur. Intinya menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah (dengan anggota badan). Dengan demikian maka nikmat yang datangnya dari Allah Ta’ala hendaknya dimanfaatkan dalam amal ketaatan.
Nikmat yang diberikan ternyata banyak pula yang disalah gunakan oleh hamba-hambaNya dijalan kemaksiatan sehingga mengundang murkanya Allah. Hamba-hamba Allah yang memperoleh nikmat tak putus-putusnya dari Allah tidak berterimakasih kepada Sanmg Pemberi tetapi malah menggunakan nikmat tersebut melakukan hal-hal yang dilarang oelh-Nya.
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:-
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS.Luqman : 13 )
Allah dalam firman-Nya telah mengkaitkan antara syukur dengan penambahan nikmat, dimana bagi hamba-hamba yang bersyukur Allah akan menambah lagi nikmat-Nya. Dan tambahan nikmat dari-Nya tersebut tidak ada habis-habisnya , sebagaimana tentunya kesyukuran juga tidak pernah habis dan terhenti melainkan terus berkelanjutan.
Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Se- sungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".( QS. Ibrahim : 7 )
Firman Allah :
“Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ( QS. Ali Imran : 145)
Syukur adalah pengikat nikmat dan penyebab bertambahnya nikmat. Seperti yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz : “ Ikatlah nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur kepada-Nya.Sedangkan Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Ali bin Abi TRhalib Radiallahu’ anhum bahwa ia pernah berklata kepada seorang lelaki dari Hamadzan :
“ Sesungguhnya nikmat Allah itu disambung dengan syukurdan syukur berhubungan erat denganbertambahnya nikmat. Keduanya selalu seiring sejalkan. Maka tambahannikmat dari Allah tidak akan berhenmti sampai manusia berhenti bersyukur.”
Meskipun Allah telah memberikan berbagai nikmat yang tidak terbatas jumlahnya, ternyata masih banyak hamba-hamba yang tidak mau bersyukur dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah dengan melakukan berbagai kemunkaran dan kemaksiatan. Tidak mau tunduk kepada syari’at yang digariskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang bersyukur amatlah sedikit diantara hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
“ Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang pandai bersyukur”.( QS. Saba’:13)
Dari uraian yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.Syukur adalah sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada pemberi nikmat dalam hal ini Allah Subhanahu Ta’ala dengan menyampaikan pujian dan sajungan yang paling tertinggi.
2.Tujuan diciptakannya manusia tiada lain hanyalah semata untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Pencipta
3.Rasa syukur diwujudkan dengan melakukan ketaatan kepada Allah berupa pelaksanaan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang.
4.Nikmat dari Allah akan bertambah apabila penerima nikmat mensyukuri akan nikmat-nikmat tersebut.
5.Nikmat adalah sarana yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk melakukan ketaatan, bukan digunakan sebagai alat berbuat kemunkaran dan kemaksiatan .
( Wallaahu’alam )
Sumber pengambilan :
1.Al-Qur’an dan terjemahan
2.Tazkiyatun Nafs Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
3.Manajemen Qalbu Ulama Salaf Syaikh DR. Ahmad Farid
( by : Musni Japrie )
Langganan:
Postingan (Atom)