Dewasa ini di tengah-tengah masyarakat Muslim
ditengarai oleh para ulama pencinta sunnah bahwa begitu banyak berkembang perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan
agama yang dilakukan oleh orang-orang namun samasekali tidak didasarkan kepada
syari’at, melainkan hanya berdasarkan pertimbangan kepada akal, pikiran dan
perasaan semata. Kalau toh ada yang menyebutnya berdasarkan dalil berupa
hadits, namun haditsnya tidak dapat dipertanggung jawabkan karena lemah (
dha’if) atau palsu .
Mereka-mereka yang melakukan perbuatan bid’ah dalam
hal agama sebenarnya banyak yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan
tersebut tidak bersesuai dengan as-sunnah,
namun karena apa yang mereka kerjakan tersebut bersumber dari guru,
ustadz atau ulama-ulama dan kiayi yang tidak didasarkan kepada as-sunnah maka mereka
terima dan ikutilah karena mereka beranggapan
apa yang telah diajarkan tersebut adalah benar.
Di antara bahaya bid’ah adalah perbuatan ini akan
menghilangkan sunnah yang semisal. Hal ini sebagaimana pernyataan salah seorang
tabi’in, Hasan bin ‘Athiyah,
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله من سنتهم مثلها ولا يعيدها
إليهم إلى يوم القيامة
“Tidaklah
suatu kaum melakukan suatu perkara yang diada-adakan dalam urusan agama mereka
(bid’ah) melainkan Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisal dari
lingkungan mereka. Allah tidak akan mengembalikan sunnah itu kepada mereka
sampai kiamat” (Lammud Durril Mantsur, hal. 21)
Demikianlah gambaran masyarakat kita sekarang yang
tidak lagi mengenal perbedaan sunnah dan bid’ah. Ajaran Nabi yang benar,
dianggap sebagai bid’ah atau aliran menyimpang, sedangkan suatu amalan bid’ah
justru dianggap sebagai sunnah Nabi yang perlu dilestarikan. Hal ini sudah jauh
hari disinyalir keberadaannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا
بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Sesungguhnya
Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya,
maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al Ghuroba’)” (HR. Muslim
2/175-176)
Terdapat beberapa penafsiran ulama mengenai kata al
ghuroba’, namun penafsiran yang marfu’ (berdasarkan riwayat yang sampai kepada
Nabi), adalah:
Orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia
rusak.
Orang-orang shalih di antara banyaknya orang-orang
buruk. Orang yang menyelisihinya lebih banyak daripada yang mentaatinya.
Sebagai contoh bid’ah yang sudah mendarah daging dan
sudah merupakan tradisi dan budaya dikalangan masyarakat Muslim di negeri ini
adalah dalam mengamalkan membaca surah Yasin antara lain pada setiap malam
jum’at dan hari Jum’at ,baik secara sendiri-sendiri dirumah atau secara berjama’ah
di masjid-masjid, surau atau langgara dan mushalla. Dimana setelah shalat
maghrib mereka membaca surat Yasin secara bersama-sama dalam bentuk koor
seperti paduan suara. Hal ini dilakukan menurut mereka berdasarkan kepada
hadits :
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ (يس) فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ ؛ غُفِرَ لَهُ
“Barangsiapa
membaca surat Yasin pada malam Jum’at, maka (dosanya) akan diampuni”
Teks hadits tersebut disebutkan oleh Al Ashfahani
dalam At Targhib wat Tarhib dari jalan Zaid bin Al Harisy, mengabarkan pada
kami Al Aghlab bin Tamim, mengabarkan kepada kami Ayyub dan Yunus dari Al Hasan
dari Abu Hurairah secara marfu’.
Syaikh Al Albani menilai hadits ini dha’if jiddan
(lemah sekali) karena ada perawi bernama Al Aghlab bin Tamim yang dinilai oleh
Ibnu Hibban sebagai perawi yang haditsnya munkar serta perawi bernama Zaid bin
Al Harisy yang dinilai oleh Ibnu Hibban sebagai perawi yang seringkali salah
(dalam meriwayatkan hadits) (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah 11/191)
Padahal seharusnya menjelang hari Jumat (yaitu dimulai ketika matahari
sudah tenggelam/malam Jum’at sampai sebelum matahari tenggelam keesokan
harinya) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengajarkan umatnya
untuk membaca surat Al Kahfi. Sayangnya, sunnah ini banyak ditinggalkan
masyarakat karena kekurang-tahuan mereka akan ilmu yang benar.
Dari Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ
النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Barangsiapa
membaca surat Al Kahfi pada hari Ju’mat, akan diberikan cahaya baginya di
antara dua Jum’at” (HR. Al Hakim 2/368 dan Al Baihaqi 3/249, dinilai shahih oleh
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 626)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku juga
menyukai surat Al Kahfi dibaca pada malam Jum’at” (Shahih Al Adzkar 1/449)
Semua keterangan di atas menunjukkan disunnahkan
untuk membaca surat Al Kahfi pada malam dan hari Jum’at (Doa dan Wirid,
hal.304).
Namun sunah yang diperintahkan oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam berupa pembacaan surah Kahfi tersebut tenggelam dan tidak pernah atau jarang
dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin, mereka lebih asyik dengan membaca
surah yasin atau membaca bermacam wirid sekian ribu kali dengan menggunakan
hitungan biji-bijian tasbeh.
Begitu pula hampir disetiap RT di kampung-kampung
pada setiap bulan sekali yang biasanya pada hari jum’at kaum wanita yang
tergabung dalam kelompok yasinan atau majelis ta’lim biasanya berkumpul untuk
membaca surah Yasin secara berjama’ah. Meskipun membaca surah Yasin sebagai
adalah satu surah dalam al-Qur’an adalah perbuatan yang baik dan terpuji, namun
karena dilakukan secara rutin dan berjama’ah maka timbullah masalah berupa
perbuatan yang mengada-ada, surah-surah lainnya yang begitu banyak diabaikan
dan ditinggalkan. Hal yang sedemikian tidak pernah dilakukan oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam, begitu juga oleh para sahabat, para ulama tabi’in
dan tabi’ut tabi’in tidak pernah mengerjakannya, beliau-beliau tersebut tidak
hanya menjadikan surah yasin sebagai surah yang diamalkan untuk dibaca pada
waktu-waktu tertentu dan menjadikan surah yasin sebagai surah yang lebih
istimewa dibandingkan surah-surah lainnya dalam al-Qur’an sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian umat Islam di negeri ini dewasa ini.
Sesungguhnya hanya mengkhususkan mengamalkan membaca surah Yasin pada waktu-waktu tertentu
baik perorangan maupun berjama’ah mereka tanpa sadar telah mematikan sunnah
karena meninggalkan amalan membaca surah-surah lainnya yang ada dalam al-Qur’an.
Sesungguhnya patut diketahui bahwa Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an
yang tidak dibatasi hanya pada surah Yasin saja.
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’ anhu berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ
بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ
وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa
membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan
itu senilai dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu
satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf, dan MIIM satu huruf.”
(HR.
At-Tirmizi no. 2910 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Takhrij
Ath-Thahawiah no. 158)
Dari ‘Aisyah radhiallahu anhda dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang
yang mahir membaca Al-Qur`an, maka kedudukannya di akhirat bersama para
malaikat yang mulia lagi baik. Sementara orang yang membaca Al-Qur`an dengan
tertatah-tatah dan dia sulit dalam membacanya, maka dia mendapatkan dua pahala.” (HR. Muslim no.
798)
Yang lebih memprihatinkan lagi dalam setiap
melakukan kegiatan yasinan biasanya setelah membaca surah yasin kelompok
yasinan tersebut melanjutkannya dengan melantunkan secara berjamaah sya’ir berbahasa arab yang
populer dengan nama shalawat nariyah yang dikarang oleh salah seorang penyair
islam, padahal di dalamnya terdapat pujian kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa
sallam yang berlebihan dan syirik karena sya’irnya berisi kalimay yang mendudukan beliau sejajar dengan
kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala . Tetapi mereka-mereka yang melantunkannya
samasekali tidak mengerti dan memahami apa yang mereka ucapkan.
Saat ini banyak diantara kaum muslimin sendiri yang
meninggalkan ajaran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan mengamalkan bid’ah.
Kebid’ahan inilah yang menjadikan redupnya sunnah Nabi (syariat Islam) yang
sebenarnya.
Contoh lain tentang bagaimana banyak dan ramainya orang-orang Muslim yang antusias menghidupkan
bid’ah dalam bulan-bulan tertentu seperti dalam bulan Rabiul Awal
menyelenggarakan kegiatan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad
shallallahu’alaihi wa sallam. Betapa banyaknya kaum laki-laki dan perempuan
dari anak-anak sampai dewasa yang berbondong-bondong datang ke masjid-masjid,
surau atau langgar dan mushalla untuk mendatangi acara peringatan maulid Nabi mendengarkan ceramah pembacaan sirah Nabi yang
diselingi dengan hiburan qasidah dan nasyid kemudian makan-makan. Padahal
peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak di syari’atkan,
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam semasa hidup beliau tidak pernah
menganjurkan dan melakukannya, begitu
pula para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in serta para ulama salafus
shalih tidak pernah melakukannya. Dimana menurut catatan sejarah bahwa
peringatan maulid awalnya dilakukan oleh penguasa Fatimiyah di Mesir yang merupakan
penganut syi’ah rafidah
Namun sangat disayangkan antusiasnya orang-orang
datang ke masjid untuk memperingati maulid yang disebut sebagai perbuatan bid’ah,
apabila datang panggilan shalat berjama’ah melalui seruan azan yang
dikumandangkan begitu kerasnya dengan pengeras suara dari setiap rumah ibadah (
masjid, langgar, surau atau mushalla) mereka tidak pernah menggubrisnya. Nyaris
saja rumah ibadah pada setiap shalat fardhu ketiadaan jama’ahnya, shaf-shaf
kosong hanya berisi beberapa orang. Kebanyakan orang-orang muslim enggan
menghidupkan sunnah shalat berjama’ah di masjid, langgar atau mushalla. Tetapi
apabila ada seruan/undangan perbuatan bid’ah mereka berbondong-bondong
mendatanginya, mereka lebih suka menggiatkan perbuatan bid’ah.
Berkaitan dengan larangan untuk membuat atau mengada-adakan
hal-hal yang baru dalam agama ( bid’ah) maka untuk itu wajib bagi setiap kaum
muslimin menjauhkan diri dan meninggalkan apa saja yang tidak ada contohnya
dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Sesungguhnya apa-apa yang digambarkan diatas tentang
perbuatan bid’ah hanyalah sedikit contoh dari begitu banyaknya perbuatan bid’ah
yang dilakoni dan diamalkan oleh banyak kaum muslimin tanpa mereka sadari
karena miskinnya mereka akan ilmu agama,
namun sekalipun miskin akan ilmu agama mereka tidak berusaha untuk menambah
ilmu agama mereka terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ibadah.
Dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata,
كَانَ النّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ.
وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشّرِّ. مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللهِِ إنّا كُنّا فِي جَاهِلِيّةٍ وَشَرٍّ. فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ. فَهَلْ
بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: “نَعَمْ” فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: “نَعَمْ.
وَفِيهِ دَخَنٌ” قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: “قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي،
وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي. تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ”. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ
ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: “نَعَمْ. دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ.
مَنْ أَجَابَهُمْ إلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا”. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: “نَعَمْ. قَوْمٌ
مِنْ جِلْدَتِنَا. وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ
فَمَا تَرَى إنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: “تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإمَامَهُمْ” فَقُلْتُ: فَإنْ لَمْ
تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: “فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا.
وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتّىَ يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ، وَأَنْتَ
عَلَى ذَلِكَ”
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena
khawatir hal tersebut akan menimpaku. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dulu kami berada pada masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah
mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini ada
keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya‘ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah keburukan
itu akan datang kebaikan lagi?’ Beliau menjawab,‘Ya, namun ada kerusakan‘ Aku
bertanya lagi, ‘Apa bentuk kerusakan itu?’ Beliau menjawab, ‘Suatu kaum yang
berjalan bukan di atas sunnahku dan mengikuti petunjuk selain petunjukku.
Engkau mengenali mereka dan mengingkarinya’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah
kebaikan itu ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, (yaitu) para da’i yang
mengajak kepada pintu neraka jahanam. Barangsiapa yang menerima ajakan mereka,
niscaya mereka akan menjerumuskannya ke dalam neraka’ Aku bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sifat-sifat mereka!’ Beliau menjawab,
‘Ya. Mereka berasal dari kaum kita dan berbicara dengan bahasa kita‘. Aku
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa yang kau perintahkan jika aku bertemu
mereka?’ Beliau menjawab, ‘Berpegangteguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan
imam mereka‘ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kami tidak mendapati adanya
jamaah kaum muslimin dan imam mereka?’ Beliau menjawab,‘Tinggalkanlah semua
kelompok-kelompok itu meskipun dengan menggigit pokok pohon hingga kematian
datang menjemputmu sedang engkau masih dalam keadaan seperti itu‘” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjelaskan makna kerusakan yang memperkeruh kebaikan, yaitu ‘suatu
kaum yang berjalan bukan di atas sunnahku dan mengikuti petunjuk selain
petunjukku‘. Artinya kaum tersebut melakukan amalan ibadah yang tidak ada
contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca: bid’ah). Oleh karena
itu, hendaknya kita senantiasa waspada terhadap amalan-amalan bid’ah yang
banyak sekali tersebar saat ini, sebagaimana shahabat Hudzaifah bin Al Yaman
radhiyallahu ‘anhu merasa khawatir akan terjerumus dalam keburukan tersebut.
APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA BID’AH ITU
?
Agama Islam yang dinyatakan telah sempurna oleh
Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang tertuang dalam firmannya dalam
Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 3 serta beberapa hadits, maka dengan
kesempurnaannta tersebut tidaklah diperlukan lagi adanya penambahan-penambahan
atau mengada-adakan hal-hal yang baru berdasarkan keinginan hawa nafsu dan
pemikiran yang menganggap apa saja yang baik itu boleh saja dilakukan dalam
agama meskipun tidak ada termasuk dalam syari’at.
Apabila sementara ini ada pihak-pihak atau
mereka-mereka yang memandang perlu memberikan penambahan atau mengada-adakan
lagi hal-hal yang baru diluar syari’at yang telah ada, maka berarti mereka
tersebut menganggap Islam tersebut belum sempurna. Dan lebih fatal lagi mereka
yang menambahkan atau mengada-adakan hal-hal yang baru diluar syari’at telah secara
tidak sadar telah mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at sehingga mereka
tersebut dapat dikatagorikan sebagai pihak yang mempunyai kedudukan sebagai
pembuat syari’at , yang dalam hal ini hanyalah Allah subhananu wa ta’ala dan
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam
agama setelah agama ini sempurna. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah
wa-fatnya Nabi shalallagu’alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal
perbuatan. Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan
atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti
menciptakan tanpa contoh sebelumnya.
Dikemukan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
dalam kitab beliau Al-Masaail bahwa berdasarkan ayat dan hadits tentang
kesempurnaan Islam, memberikan penjelasan kepada kita, bahwa agama kita ini (
al-Islam ) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan
pengurangan sedikitpun juga hatta ( meskipun) sekecil apapun juga. Meski apapun
juga bentuk dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun dianggap
baik atau dianggap besaroleh sebagian manusia atyau dari siapa saja datangnya,
adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan
tetapi sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya
secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah
membantah firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah
shalallahu’alahi wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan
risalah. Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah
ta’ala di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“ Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia
menganggapnya sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia
telah menuduh bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam
( menyampaikan ) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada
hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak
menjadi (bagian dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian
dari) agama pada hari ini ( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan Imam Malik
diatas dan ini merupakan kaidah besar yang samngat agung sekali di dalam agama
Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu-yakni ketika
turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari ini, Yakni,
apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi
ajaran islam pada hari ini.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan )
dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam bid’ah dan
hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya
haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah)
; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ
بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin
Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini
yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah
haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
" Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang
baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap
bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits
hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ
بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari
'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang
tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari
'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami,
padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang
diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah
sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu
hukumnya haram.
Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: “Jauhilah
setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan
menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal
dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang
terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar
dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa
disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Tidak
boleh mengikuti pendapat seseorang ketika dihadapkan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kaum
muslimin telah bersepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak boleh ia meninggalkannya
karena adanya ucapan seseorang (selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
LATAR BELAKANG MUNCULNYA BID’AH
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
menyebutkan bahwa:
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan
Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada
bid’ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) [521],
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.(qs.Al-An’am :153 )
K e t e r a n g a n :
[521] Maksudnya: janganlah kamu mengikuti
agama-agama dan kepercayaan yang lain dari Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat
satu garis untuk kita, lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”, kemudian
beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu
bersabda : “Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada
syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut”.
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan
As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada
munculnya bid’ah-bid’ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap
hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat
dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir.
Perinciannya sebagai berikut:
[1].
Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi
atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan,
sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya :
“Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih
hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan”. [Hadits Riwayat Abdu
Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].
Dan dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga :
“Artinya : Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil
(mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi
mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa)
seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka
ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka
sesat dan menyesatkan”.
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid’ah kecuali
ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah
pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
[2].
Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan
As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
“Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab
(tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun”.
[Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)”. [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa
nafsu yang diikuti.
[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang
Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu
dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka :
‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menajwab : ‘(Tidak) tetapi
kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk”. [Al-Baqarah :
170].
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini
dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta
penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan
As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan
As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh,
bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
[4].
Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat
menjerumuskan kepada bid’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid
Al-Laitsy berkata.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu
orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat
peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu
anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :” Ya Rasulullah
buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath,
lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allahu Akbar !
Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya,
ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Alaihi Sallam :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَآئِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ
يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهًا كَمَا
لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu [562],
maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala
mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa
menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui
(sifat-sifat Tuhan)".(Q.Al-A’raf: 138)
Lalu Musa bersabda : “Sungguh
kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu”.
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai
orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar
mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya
selain Allah Ta’ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh
kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan
bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan
beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu,
upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan
patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka,
bid’ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain (Al-Wala
& Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang
Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA SUNNAH ITU
?
Yang dimaksudkan dengan as-sunnah di sini bukanlah
sinonim dari kata mustahab atau sesuatu yang dianjurkan. Namun Sunnah di sini
berarti metode hidup dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga kata Sunnah mencakup hal-hal yang hukumnya wajib dan mustahab,
sebagaimana juga mencakup permasalahan akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak.
Para ulama salaf berkata: “Sunnah berarti
mengamalkan al-Qur`an, hadits, serta mengikuti salafush sholih dan jejak
mereka.”
Ibnu Rojab rahimahullah berkata: “Sunnah adalah
jalan yang dititi, yang mencakup keyakinan, perbuatan dan perkataan, yang
menjadi pegangan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur
Rasyidin. Itulah sunnah yang sempurna. Tidaklah generasi salaf dahulu
memaksudkan kata Sunnah melainkan mencakup tiga hal di atas.” (Jami’ul ‘Ulum
wal Hikam hal. 28)
Sumber hukum Islam terdapat pada dua hal, al-Qur`an
dan as-Sunnah. Sunnah inilah yang merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan keduanya wajib dijadikan pegangan dalam mengarungi
bahtera kehidupan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّيْقَدْتَرَكْتُفِيْكُمْمَاإِنِاعْتَصَمْتُمْبِهِفَلَنْتَضِلُّوْاأَبَدًاكِتَابَاللهِوَسُنَّةَنَبِيِّهِ.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang
bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat
selama-lamanya; yaitu kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (Ha
dits shohih. Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 40)
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
dijadikan sebagai pegangan hidup para sahabat dahulu. Mereka selalu berjalan di
atas Sunnah, taat dan patuh dengan perintah yang ada di dalamnya. Mereka begitu
mengagungkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjaga dan membelanya
hingga rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Bila melihat seseorang yang
menyelishi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sengaja atau tidak,
mereka langsung bersikap tegas kepadanya. Dengan demikian mereka menjaga
kemurnian Sunnah dari tangan kotor dan makar orang-orang jahat.
Demikianlah seterusnya perjalanan Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, serta
generasi-generasi setelahnya begitu perhatian dengannya dan sangat mencintainya
dengan kecintaan yang sebenarnya.
Nabi yang mulia shalallahu’alaihi wa sallam telah
bersabda ,
“ Tidak
tinggal sesuatupun yang mendekatkan kamu kesurga dan menjauhkan kamu dari api
neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu “. Oleh karena itu
barang siapa mencari jalan jannah (surga) dan menjauhkan dirinya dari nar
(neraka ) tanpa mengikuti al Kitab dan as-Sunnah, maka sesungguhnya dia telah
menempuh jalan-jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits lain yang membicarakan tentang telah
sempurnanya Islam ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam
kitab sunan-nya :
Dari Muththalib bin Hanthab : “Sesungguhnya
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak aku tinggalkan
sesuatu /sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu,
melainkan sesungguhnya aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinggalkan
kepada kamu sesuatu/ sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu
(mengerjakannSya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari
mengerjakannya
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774
H): Bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh
jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam
pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.”
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan
mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah
dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua
bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan
menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya
mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim
dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan
wahyu dari Allah.
MENGHIDUPKAN SUNNAH DENGAN ITTIBA’
(MENGIKUTI ) RASULLULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI WA SALLAM
Abu Bakar ash Shiddiq radhyallahu,anhu , seorang
sahabat yang dijamin oleh Allah masuk surga, mengatakan :
لَسْتُ تَارِكاً شَيْئاً كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ
عَمِلْتُ بِهِ ، فَإِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah lakukan
kecuali untuk aku amalkan, karena aku khawatir, jika aku tinggalkan perintah
Rasulullah, maka aku akan sesat. [HR Bukhari, no. 3093, dan diriwayatkan oleh Ibnu Baththah
dalam kitabnya, al Ibanah, I/245-246 no. 77]
Imam Abu Abdillah bin Ubaidillah bin Muhammad bin
Baththah yang wafat pada tahun 387H dalam kitabnya al Ibanah pada juz pertama,
berkata: “Wahai saudara-saudaraku, Abu Bakar ash Shiddiq, ash shiddiqul akbar,
beliau takut apabila kesesatan menimpa dirinya. Kalau dia menyalahi sesuatu
dari salah satu saja dari perintah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bagaimana nanti akan ada satu zaman, yang orang yang ada di zaman tersebut,
mereka memperolok-olok Nabi mereka, mereka memperolok-olok perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka berbangga menyalahi Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kita mohon kepada Allah dari
ketergelinciran, dan kita mohon keselamatan dari amal yang jelek”. [al Ibaanah,
I/246.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh (wafat th.
728 H) berkata:
”Kebahagiaan itu disebabkan karena
mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Sedangkan kesesatan
dan celaka disebabkan menyalahi petunjuk Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Sesungguhnya, setiap kebaikan di alam semesta ini, baik yang sifatnya umum atau
khusus, sumbernya dari diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Begitu juga semua kejelekan di alam semesta yang menimpa manusia, disebabkan
penyimpangannya terhadap petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan
tidak mengetahui apa yang dibawa beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bahwasanya kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia
dan akhirat disebabkan ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam). Risalah kenabian dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Kebutuhan
mereka kepada diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam di atas seluruh
kebutuhan. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan ruh
bagi alam semesta, cahaya dan kehidupan.” [4]
Beliau rahimahullâh juga berkata:
”Ar Risalah (diutusnya Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam) merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memperbaiki
kehidupan seorang hamba dalam hidupnya ini di dunia dan juga kelak di akhirat.
Sebagaimana seorang hamba, dia tidak akan baik untuk kehidupan akhiratnya
melainkan dengan mengikuti risalah, yaitu risalah Nabi Muhammad shallallâhu
'alaihi wasallam. Sebagaimana juga seorang hamba, dia tidak akan baik dalam
kehidupan dunianya, melainkan dengan ittiba’ risalah. Sesungguhnya manusia
sangat membutuhkan agama ini, karena dia hidup di antara dua gerak; (yaitu)
gerak yang mendatangkan manfaat baginya dan gerak yang dapat menolak bahaya
baginya.
Ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang
wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah
banyak. Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam
Majmu Fatawa (XIX/83), bahwa Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sekitar 40 ayat dalam a Qur`an.
Ayat-ayat mulia dalam al Qur`an al Azhim yang
berkenaan dengan ittiba`, di antaranya :
1. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [ali Imran : 31].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H)
berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai
Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syari’at dan
agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan
dan perbuatannya.
Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari
kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih
besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang
penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian
dicintai oleh Allah.
Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua
Allah mencintai kita. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita
itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah.
Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk
dapat dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan,
sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan
ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya,
namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam,
Th. 1413 H].
Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) jika kita
mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Allah akan mencintai
kita, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.
2. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya. Jika kalian
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir’’. [Ali Imran : 32].
Ayat ini mengandung makna, jika seseorang menyalahi
perintah RasulNya atau tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka dia telah kufur; dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki
sifat demikian, meskipun dia mengaku dan mendakwahkan kecintaannya kepada
Allah, sampai ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh
jin dan manusia wajib untuk ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hingga seandainya Nabi Musa ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka dia pun wajib ittiba’ kepada Nabi Muhammad. Demikian
juga dengan Nabi Isa ketika turun ke bumi pada akhir zaman nanti, maka Nabi Isa
wajib ittiba` kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian ini menunjukkan, bahwa seluruh manusia
wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Katsir,”Dan Rasulullah n diutus untuk seluruh makhlukNya,
baik golongan jin dan manusia. Kalau seandainya seluruh nabi dan rasul, bahkan
seluruh Ulul ’Azmi dari para rasul, mereka hidup pada zaman Rasulullah n, maka
mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti
syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/384].
Sebagaimana yang terjadi pada zaman Umar bin
Khaththab, ketika itu beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang dan membaca lembaran
Taurat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةًً ، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ
شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا
بِهِ ، وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيّاً مَا وَسِعَهُ
إِلاَّأَنْ يَتَّبِعَنِيْ
“Apakah
engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang diri Muhammad ada di
tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan
putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti
mereka kabarkan yang benar, namun kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang
bathil, kalian membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya,
seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus
mengikuti aku”. [HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim
dalam Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini
milik Ahmad.
Hadits ini memuat kandungan :
Wajib bagi para nabi untuk ittiba’ kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya mereka hidup pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Jika para nabi saja wajib berittiba’ kepada
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka terlebih lagi bagi
kaum muslimin, mereka harus berittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,.
Umar yang tidak diragukan keimanannya dan dijamin
pasti masuk surga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap menegur
ketika beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang kitab Taurat.
3 Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi
perintah Rasulullah, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
[an Nuur : 63].
Al Hafizh Ibnu Katsir menerangkan: “Menyalahi
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyalahi jalan hidup
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manhaj (cara beragama), sunnah,
syariatnya. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan
perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang
sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka akan diterima oleh Allah. Dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan
perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan ditolak oleh
Allah, siapapun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu, serta apapun
perkataan dan perbuatan itu. Meskipun dia ulama, atau seorang yang alim, jika
perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka
amalan tersebut tertolak.
Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi
syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin. Mereka
akan ditimpa fitnah di dalam hatinya, berupa kekufuran, kemunafikkan dan
bid’ah, atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman
haad, dipenjara atau yang lainnya.
Yang dimaksud “menyalahi perintah” adalah, menyelisihi
sunnah, jalan, manhaj, syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua
perkataan dan perbuatan kita, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang tidak berittiba’ kepada Rasulullah n,
mengingkarinya dan menolaknya, akan terjatuh pada kekufuran, baik kufur yang
besar (akbar) ataupun kufur yang kecil (ashghar), atau kemunafikan, atau
bid’ah; dan ini merupakan pengaruh dari perbuatan dosa dan maksiat; maksiat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang besar
terhadap hati manusia, berupa kekufuran, kemunafikan, bid’ah; atau fitnah yang
besar di dunia, yaitu berupa ancaman dibunuh, diberi hukuman had ataupun di
penjara oleh Ulil Amri. [Tafsir Ibnu Katsir, III/338].
4. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [QS.al Ahzaab : 21].
Al Hafizh Ibnu Katsir mengatakan,”Ayat yang mulia
ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik berupa aqidah, syariah atau ibadah, akhlaq, dakwah,
politik atau yang lainnya. Kita wajib berittiba’, tidak hanya dalam hal ibadah
atau akhlaq beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi harus
menyeluruh.” [Tafsir Ibnu Katsir, III/522].
5. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata. [QS.al Ahzaab: 36].
Ayat ini berlaku umum untuk seluruh kaum Mukminin
terhadap setiap urusan mereka. Jika Allah dan RasulNya telah memutuskan suatu
ketetapan, maka wajib baginya untuk mendengar dan taat.
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya bagi
setiap kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak hanya dalam masalah ibadah, namun juga wajib berittiba’ dalam
masalah-masalah yang lain. Dengan ittiba’ ini, kita akan mendapatkan kemuliaan,
kebahagiaan dan kemenangan.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Berbagai perilaku kebanyakan kaum muslimin telah
menjerat mereka dalam begitu banyak perbuatan bid’ah dalam kehidupan
sehari-harinya tanpa disadari. Orang-orang lebih menyukai menghidupkan dan
menggiatkan perbuatan bid’ah dibandingkan mengerjakan perbuatan sunnah yang
diperintahkan syari’at. AS-sunnah sengaja diterlantarkan, tetapi sebaliknya bid’ah
dikembang suburkan sedemikian rupa.
Sesungguhnya wajib bagi setiap yang mengakui dirinya
sebagai pemeluk islam untuk berpegang teguh kepada pedoman sebagai rujukan cara
beribadah yang benar yaitu kepadA As- sunnah. Karena merujuk kepada As-sunnah merupakan bentuk
keta’atan kepada Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam. Abu Hurairah mengatakan
bahwa Rasulullah bersabda:
صحيح البخاري ٦٧٣٧: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ
حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ
يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap
umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya
Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa
mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang
enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
Tinggalkanlah segera semua perkara-perkara bid’ah,
hidupkanlah dan kembang suburkanlah sunnah Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam, karena as-Sunnah sesungguhnya yang akan menyelamatkan manusia dari
jeratan siksa neraka. Menggiatkan dan menghidupkan bid’ah berarti mereka telah
menyiapkan tempat diakhirat. ( Wallahu ta’ala ‘alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemah, www. salafi-db.com
2.Ensiklopedi Kitab Hadits 9 imam, www.
lidwapusaka.com
3. Pengertian, Macam-macam dan Hukum Bid’ah, Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam artikel :
http://www.salafi-db.com
7. Al Masaa’il ( Masalah-masalah Agama) Abd.Hakim
bin Amir Abdat.
8. Risalah Bid’ah, Abd. Hakim bin Amir Abdat.
9.Buletin al-Iman
11. Artikel al-Atsariyyah.com
12.Artikel Muslimah.or.,id
Selesai disusun ba’da ashar, Sabtu 25 Jumadil Awal 1434
H/6 April
( Penyusun : Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar