Sebelum membahas thema dari artikel
ini yang berkaitan dengan berbagai ragam perbuatan ghuluw terhadap para wali,
ulama dan orang-orang shalih sesuai judul diatas, maka terlebih dahulu
dikemukakan tentang pengertian ghuluw.
Dalam kamus lisanul ‘arab disebutkan bahwa asal kata ghuluw diambil dari
kata ghala yaghlu, yang secara bahasa artinya melampaui batas atau
berlebih-lebihan.
Pengertian ghuluw dalam arti
syari’at adalah berbuat melampaui batas, baik dalam keyakinan maupun amalan
yang justru membuatnya menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji
sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa yang menjadi
haknya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan definisi yang semakna dengan apa
yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Dr. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti
berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya,
seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat rububiyyah
dan uluhiyyah (ketuhanan).
Ada pula yang menyebutkan b ahwa ghuluw dalam beragama berarti: melampaui apa yang dikehendaki syari'at, baik
dalam keyakinan, maupun amalan.
Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti
melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau
mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
Ghuluw dalam Pandangan
Agama
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang
dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan
merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu
wa ta’ala menerangkan kebencian-Nya
terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat
Rasulullah n tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi
diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallahu’alahi
wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas
mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
Ghuluw dengan makna di
atas telah dijelaskan oleh Allah ta’ala
pada dua tempat:
Pertama, Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ
تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ
مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ
فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا
لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ
لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab,
janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya
[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS. An Nisaa : 171 )
K e t e r a n g a n :
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu
Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ
غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ
وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan dalam syarahnya terhadap Kitab at-Tauhid mengatakan, “Sekalipun yang diajak berbicara oleh Allah ta’ala
adalah ahli kitab, namun arahannya umum untuk setiap umat sebagai suatu bentuk
peringatan dari sifat ghuluw, sebagaimana perbuatan Nasrani terhadap Nabi
‘Isa’alaihissallam dan perbuatan orang Yahudi terhadap ‘Uzair.” (Fathul Majid,
1/371)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan, “Allah subhanahu wa
ta’ala melarang ahli kitab dari ghuluw
dan kultus individu. Hal ini banyak terjadi di kalangan Nasrani yang melampaui
batas terhadap diri ‘Isa’alaihissallam, sehingga mereka mengangkatnya lebih
dari martabat yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada diri beliau. Mereka memosisikan beliau
dari kedudukannya sebagai seorang nabi menjadi sesembahan yang mereka sembah
selain Allah .Bahkan, mereka juga berlebih-lebihan dalam menyikapi para
pengikut Nabi Isa ‘alaihissallam(di antaranya para pendeta) yang mereka
meyakini pada diri para pengikut tersebut, kesucian dari dosa. Mereka mengikuti
setiap apa yang dipetuahkan oleh (para pendetanya), baik itu benar ataupun
salah, kesesatan ataupun petunjuk, benar ataupun dusta. Oleh karena itu, Allah
l mengatakan, ‘Mereka menjadikan ulama-ulama dan pendeta-pendeta tersebut
sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah’.” [an-Nisa: 171] (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/603)
Asy-Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 179) mengatakan hal yang semakna dengan ucapan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah t yang berkata, “Barang siapa dari umat ini yang menyerupai
Yahudi dan Nasrani, serta dia berlebih-lebihan di dalam agama baik dengan cara
menambah maupun mengurangi, maka dia telah sama seperti mereka.” (Minhaj
as-Sunnah, 1/28, Majmu’ Fatawa, 3/370—394)
Asy-Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di t juga mengatakan, “Barang siapa
berlebih-lebihan dalam menyikapi seorang makhluk sehingga menjadikannya
memiliki kekuasaan tunggal dalam mengatur dan sebagainya, maka sesungguhnya dia
telah menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin. Hal itu termasuk sebesar-besar dosa syirik,
karena hak-hak itu ada tiga:
1.Hak yang hanya khusus bagi Allah ta’ala dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya
dalam hak ini. Itulah hak peribadatan hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada
selain-Nya, baik dengan cinta, bertaubat, takut, berharap dsb.
2. Hak yang khusus bagi rasul-rasul-Nya, yaitu memuliakan mereka, melaksanakan
hak-hak mereka, dan sebagainya.
3. Hak yang dimiliki bersama, yaitu hak beriman kepada Allah l dan beriman
kepada rasul Allah. Cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan cinta kepada rasul-Nya, menaati Allah
subhanahu wa ta’ala dan menaati rasul-Nya. Namun pada asalnya hak ini terkait
dengan Allah. Adapun kepada rasul-Nya hanya sebatas mengikuti hak Allah.” (al-Qaulus
Sadid, hlm. 73)
Dari dua ayat di atas, jelaslah bahwa ghuluw dalam
beragama, menyikapi sesuatu atau seorang yang alim dengan cara berlebihan
sehingga meletakkannya pada martabat lebih dari kedudukannya sebagai manusia,
merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah l dan Rasul-Nya .Rasulullah n
bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul Khaththab radhyallahu’anhu:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى
عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian
memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya
aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)
Makna dari hadits ini: “Janganlah kalian memujiku sehingga
kalian berlebih-lebihan terhadapku, sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan terhadap
‘Isa ‘alaihissallam yang pada akhirnya mereka mengakui adanya hak peribadatan
bagi ‘Isa bin Maryam. Aku ini tidak lebih dari seorang hamba Allah ta’ala. Maka
sifatilah diriku sebagaimana Rabb-ku mensifatiku. Katakanlah: hamba Allah dan
rasul-Nya.
Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhum, Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ،
فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian
dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian
binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam
al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t (al-Iqtidha, 1/289—290) mengatakan, ”(Makna)
hadits ini adalah umum mencakup segala macam ghuluw, baik di dalam i’tiqad
(keyakinan) maupun amalan-amalan.”
Beliau menyebutkan alasan menjauhi langkah orang-orang
sebelum kita adalah agar tidak terjatuh pada perkara yang menyebabkan
kebinasaan, dan bahwa mengikuti mereka pada sebagian ciri mereka dikhawatirkan
akan menyebabkan tertimpa kebinasaan.
Hukum Ghuluw
Allah berfirman,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ
تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ
ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus". (QS.Al Maidah
: 77 )
Ayat serupa disebutkan pula dalam firman Allah ta’ala dalam
surat An Nisa: 171.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ
إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ
وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ
وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ
إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات
وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab,
janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya
[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS,An Nisaa: 171 )
K e t e r a n g a n :
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu
Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
Imam Al Qurthubi menegaskan dengan ayat di atas, Allah
mengharamkan sikap ghuluw di atas. Sedangkan ghuluw itu sendiri adalah
melampaui batas. Dia mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw seperti
sikap ghuluwnya orang-orang Yahudi terhadap Maryam binti Imran yang sampai
- sampai menuduhnya berzinah. Sebaliknya juga sikap ghuluw-nya orang-orang
Nashrani terhadap dia (Maryam) sehingga menganggapnya sebagai Tuhan.
Ibnu Katsir menambahkan banyak golongan lain yang
menuruti jejak orang-orang Nashrani tersebut. Di mana mereka bersikap
ghuluw terhadap pemimpin-pemimpin yang dianggap berkompeten dalam urusan
agamanya, yang kemudian mereka yakini sebagai yang ma'shum.
Ucapan merekapun
diikuti, baik itu benar maupun salah, baik berpedoman (pada yang
haq) maupun yang sesat, baik jujur maupun dusta!
Sementara dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, bahwa
Rasulullah bersabda, Wahai manusia, waspadalah kamu sekalian terhadap
ghuluw di dalam Islam. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu
hanyalah sikap ghuluw dalam agama mereka.
Bahaya Sifat Ghuluw
Sebagaimana pembahasan di atas, ghuluw dalam agama
merupakan perkara yang sangat dibenci karena akan mengakibatkan kerusakan
agama, diri, dan masyarakat. Di antara bahaya dan kerusakan dari sifat ghuluw ini
adalah:
Pertama, melanggar larangan
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya,
sebagaimana larangan Allah subhanahu wa ta’ala
yang ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani, namun pada hakikatnya larangan
tersebut untuk seluruh umat. Sebagaimana firman-Nya:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ
تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ
مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ
فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا
لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ
لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab,
janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya
[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS.An Nisaa : 171 )
K e t e r a n g a n :
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa ‘alaihissallam
itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
Firman Allah ta’ala :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ
غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ
وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai
Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian
dari sikap ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, 1/215
dan 437, an-Nasa’i no. 3057, Ibnu Majah no. 3029, serta disahihkan oleh
asy-Syaikh al-Albani sebagaimana di atas)
Kedua, ghuluw telah
membinasakan umat-umat terdahulu. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bersabda sebagaimana telah disebutkan di
atas:
فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Maka sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan ghuluw di dalam agama.”
Ketiga, ghuluw merupakan
jembatan menuju kekufuran dan kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala .
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, di dalam kitabnya at-Tauhid, menulis sebuah judul “Di Antara Sebab-Sebab Kekufuran Bani Adam dan
Sikap Meninggalkan Agama oleh Mereka, adalah Berlebih-lebihan dalam Menyikapi
Orang-Orang Saleh.” Di dalam Masa’il al-Jahiliah beliau juga menyebutkan,
“Masalah ketiga belas (sebagai ciri kehidupan jahiliah): berlebih-lebihan dalam
menyikapi ulama dan orang-orang saleh.”
Keempat, ghuluw merupakan asas
tunggal kesyirikan orang-orang musyrik jahiliah serta kekufuran orang-orang
Yahudi dan Nasrani berikut kesesatan firqah-firqah yang ada di tengah-tengah
kaum muslimin.
Kelima, ghuluw akan
mengangkat orang yang dikultuskan hingga mencapai martabat yang sangat tinggi
atau menghinakannya hingga ke martabat yang sangat rendah.
Keenam, ghuluw akan
mengantarkan kepada penyembahan yang dipuja-puja.
Ketujuh, ghuluw akan
menghalangi atau melalaikan (seseorang)
untuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala ,
Kedelapan, ghuluw akan
menimbulkan keangkuhan dan kesombongan orang yang dikultuskan. (lihat sebagian
faedah dalam al-Qaulul Mufid, 1/469)
Bersikap Ghuluw Kepada
Ulama dan Orang-Orang Shalih
Mencintai dan memuliakan sesama muslim merupakan perintah
syari’at yang mulia ini. Terlebih kepada orang-orang shalih dan ulama. Allah
menyepadankan persaksian mereka dengan persaksian Diri-Nya, dan mereka adalah
teman yang terbaik. Tetapi perlakuan ini harus dalam koridor yang benar dan
proporsional, tidak ghuluw atau berlebih-lebihan. Sebab mereka adalah manusia
biasa, tidak memiliki kemaksuman seperti para nabi dan tidak pula memiliki
sifat ketuhanan.
Hal ini perlu ditegaskan lantaran gejala atau praktek
ghuluw ini masih terus menggelayuti sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai
persepsi bahwa ulama itu tidak mungkin keliru.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi dalam kitab beliau “Prilaku
& Akhlak Jahilliyah mengatakan ;
bahwa orang-orang jahilliyah mereka telah berbuat ghuluw terhadap
pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan mengangkat mereka dari kedudukannya.
Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan mereka sebagai sembahan bersama Allah .
Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw kepada Uzair, mereka berkata “ Dia
adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan ghuluw orang-orang orang Nasrani.
Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa bin Maryam’alaihisallam dari
kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan pengemban risalah kepada
derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka berkata “ Dia adalah anak
Allah “
Demikian pula dengan kaum Nabi Nuh’alaihissallam sepeninggal beliau ,
mereka bersikap ghuluw kepada orang shalih, dengan membuat gambar dan patung
mereka. Kemudian mereka mengibadahinya sebagai sesembahan selain Allah, lalu
mereka mengangkat orang-orang shalih sampai kepada tingkat
uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا
يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata:
"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan
jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula
suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh : 23 )
K e t e r a n g a n :
[1521] Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang
terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
Berdasar ayat diatas mereka telah menjadikan orang-orang shalih tersebut
sebagai sesembahan. Dan demikian juga selain mereka dari kelompok kelompok kaum
musyrikin sampai hari ini. Mereka telah bersikap ghuluw kepada orang-orang
shalih dengan melakukan tawaf di kiburan mereka, menyembelihj dan bernazar
untuk mereka, dan memohon pertolongan ketika dalam keadaan sulit kepada orang
yang telah mati. Mereka bersungguh-sungguh dalam memohon kepada oarnmg-orang
shalih tersebut agar memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Perbuatan ghuluw
seperti ini akan menyeret para pelakunya kepada kesyirikan.Maka tidak
diperbolehkan bersikap ghuluw terhadap seluruh makhluk dan mengangkat mereka
diatas kedudukan yang btelah Allah berikan.Karena hal ini akan menyeret kepada
perbuatan menyekutukasn Allah subhanahu wa ta’ala.Demikian pula ghuluw kepada
para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang umat islam untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah
shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas dan nyata sebagai nabinya tercinta umat
islam, apalagi terhadap para ulama larangan itu tentunya semakin keras.
Bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah ulama sesuai dengan
kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan menyanjung ulama
melebihi kapasitasnya sebagai ulama.
Perhatikanlah bagaimana
perilaku orang-orang yang fanatik kepada madzhab. Sedangkan lainnya
meyakini bahwa seorang ulama itu mampu menjamin pengikutnya masuk surga. Lihat
kitab Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani. Bahkan dikisahkan beliau mengancam
malaikat Munkar dan Nakir agar tidak menyiksa pengikutnya. Subhanallah! Begitu
dalamnya mereka tercebur ke dalam jurang kesyirikan!
Itulah sekelumit fenomena ghuluw yang terus berkembang dan
diyakini sebagian masyarakat. Sikap inilah yang menjerumuskan ke dalam
kesyirikan lantaran melabeli mereka dengan sifat-sifat ketuhanan yang hanya
pantas bagi Allah.
Berbagai perbuatan
yang termasuk dalam katagori ghuluw
terhadap wali,ulama dan orang shalih
Fenomena ghuluw terhadap para wali, syaikh, ulama, tuan guru, habib
dan orang-orang shalih di tengah-tengah masyarakat Muslim sangat nampak di
negeri ini antara lain :
a.Sangat Mengagungkan dan memberikan pujian yang tidak sesuai
dengan kedudukan mereka
Banyak sekali kita jumpai bahwa sebagian umat Islam yang
sangat mengagungkan terhadap baik wali, syaikh, habib, ulama, tuan guru dan
orang shalih. Mereka beranggapan bahwa oarng yang diagungkan dan dipuji
tersebut mempunyai kelebihan dalam hal ilmu agama yang tidak dimiliki orang
lain.Mereka yang diagungkan tersebut dapat mengetahui hal-hal yang ghaib,
mengetahui apa-apa yang akan terjadi,
mampu menyembuhkan
berbagai macam penyakit,mempunyai karomah sehingga orang datang
berbondong-bondong untuk sekedar bertemu
serta yang datang untuk menyampaikan bermacam hajat .
Banyak sekali diantara umat Islam
yang sangat mengagung-agungkan dan memuji-muji serta menyanjung secara berlebihan para wali,syaikh, ulama,
kiai,tuan guru dan orang-orang shalih yang mereka idolakan dengan perkataan
serta ucapan yang sangat berlebihan.Sebagai contoh mereka pada malam-malam
tertentu atau pada acara tertentu berkumpul membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir
Jailani yang berisi puji-pujian terhadap syaikh secara berlebihan. Begitu juga
banyak sekali orang-orang yang memuji tuan guru, ulama, syaikh, kiai dengan
menceritakan hal ikhwal tentang mereka-mereka tersebut secara berlebihan dan
kadang-kadang tidak masuk diakal, seperti cerita tentang adanya ulama yang
setiap hari Jum’at shalatnya di Masjidil Haram.
Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam saja sangat tidak menyukai orang-orang yang memuji beliau .
Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul
Khaththab radhyallahu’anhu:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى
عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian
memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya
aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)
Sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ١٠١٠: حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ
الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ
ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَدَخَلَ عَلَيَّ غَدَاةَ بُنِيَ بِي فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي
وَجُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِدُفُوفِهِنَّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ
آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِلَى أَنْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ
مَا فِي غَدٍ
فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْكُتِي عَنْ هَذِهِ وَقُولِي الَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ قَبْلَهَا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Tirmidzi 1010: dari
Ar Rubai' binti Mu'awwidz berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada
tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku. Anak-anak perempuan kami
memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada
Perang Badar. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair); 'Di
antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui hari esok hari'." Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berhentilah (diamlah) dari ucapan
itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapakan tadi."
Dari hadits tersebut tersurat adanya larangan dari
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam agar tidak memuji beliau. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam saja
sangat tidak menyukai orang-orang yang memuji beliau, lalu bagaimanakah dengan
orang-orang yang memuji secara berlebihan para wali,syaikh, tuan guru, kiai,
ulama, habib dan orang shalih, tentunya lebih terlarang lagi.
Al-hafizh Ibnu Hajar menerangkan: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingkari ucapan mereka hanyalah karena mereka
berlebih-lebihan dalam memuji dimana mereka mengatakan bahwa beliau mengetahui
semua ilmu ghaib. Padahal ilmu ini hanya khusus bagi Allah. Firman-Nya:
قُل
لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا
يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS.
An-Naml [27]: 65)
قُل
لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ
كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ
السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa
menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali
yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman“. (QS. al-A’raf [7]: 188)
Adapun ilmu ghaib yang diketahui beliau karena informasi
dari Allah, bukannya beliau mengetahui dengan sendirinya, seperti firman Allah:
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً* إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن
رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui
yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib
itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS.
al-Jin [72]: 26-27)
(Lihat Fathul Bari 9/255 cet. Darus
Salam). Allahu A’lam.
b.Menta’ati,
mengikuti dan mengekor kepada ulama,tuan guru, syaikh, kiai dan orang shalih
yang jadi panutan (taqlid)
Orang-orang yang berbuat ghuluw kepada mereka yang jadi
panutannya ( bertaqlid) ta’at, mengikuti dan mengekor dengan mengikuti segala
apa saja yang dikatakan atau diucapkan
oleh para ulama,tuan guru, syaikh, habib dan kiai yang mana ucapan dan
perkataan mereka tersebut tidak
berlandaskan atau bertentangan dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka yang berbuat ghuluw lebih memilih untuk menuhankan ulama yaitu dengan mengikuti pendapat mereka sekalipun
bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau al-Hadits.Fenomena semacam ini banyak
sekali terjadi dikalangan yang mengaku dirinya sebagai muslim. Mereka
bersikukuh kepada pendapat guru-guru mereka sekalipun bertentangan dengan
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits . Bahkan ada dikalangan mereka yang enggan
mengaji kepada guru-guru lain. Ada tanda-tanda bahwa hanya guru mereka yang
benar dan guru lain sesat. Marilah kita berfsikap sederhana dan yang kita
tonjolkan hanyalah dalil. Siapapun yang tak punya dalil harus ditinggalkan dan
yang punya dalil harus diikuti. Ingatlah firman Allah dalam al-Qur’an surah
at-Taubah ayat 31 :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ
ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [639] dan
(juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Qs.At Taubah:31)
K e t e r a n g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan
rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan
rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera
Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu
menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Mereka menghormati para pemimpin atau ulama melebihi kedudukan Allah
Subhanahu Wata’ala tanpa mereka sadari, dimana perintah Allah di tinggalkan
untuk taat kepada pimpin atau ulama . Bila dikatakan kepada mereka ikutilah
ayat-payat Allah atau hadits-hadits Rasul,mereka menjawab: kita tidak mampu
mengerti maksud ayat-ayat Qur’an atau dalil hadits, kita harus ikut ulama atau
tokoh –tokoh kita.
c. Melakukan perbuatan
bid’ah
Termasuk perbuatan ghuluw terhadap wali,ulama, kiai,habib, tuan guru dan
orang-orang shalih ialah melakukan perbuatan bid’ah dalam hal agama yang tidak
bersandar kepada as-Sunnah, kecuali mengikuti apa yang dia peroleh dari para
ulama,kiai, tuan guru dan ustadz yang mengajarkan pengetahuan agama. Sedangkan
yang diajarkan/disampaikan oleh para ulama,tuan guru, kiai dan ustadz tersebut
banyak yang tidak bersesuaian dengan syari’at ( al-Qqur’an dan as-Sunnah) atgau tidak bersandar kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal Islam melarang umatnya berbuat bid’ah,
sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam
:
“Dari ‘Aisyah, ia b
erkata : telah bersabda Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam : “ Barang siapa
yang mengadakan di dalam urusan (agama) Kami ini apa-apa yang tidak ada
dariya,maka tertolak dia “( HR. Bukhari,. Muslim dll )
Selain dari itu ada pula hadits kedua :
“ Dari ‘Aisyah ia
berkata : “ Telah bersabda Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam : “ Barang
siapa yang mengerjakan sesuatu amal yang tidak
Ada keterangannya dari
kami ( Allah dan Rasul-Nya), maka tertolaklah amalnya itu. (HR. Muslim)
Bid’ah adalah hal yang baru dalam agama setelah agama itu sempurna . Atau
sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi shallalahu’alahi wa sallam
berupa keinginan nafsu dan amal perbuatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengungkapkan bahwa : “ Bid’ah
dalam islam, adalah : segala yang tidak disyariatkan oleh Allah dan
Rasul-Nya,yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau
berbentuk anjuran “
Sedangkan Imam Asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan bahwa :” Bid;ah itu
adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuk menyerupai ajrahn
syari’at yang ada, tujuannya dilaksanakannya adalah untuk berlebih-lebihan
dalam ibadah kepada Allah “.
Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam dalam banyak hadits yang shahih
mengajarkan dan memerintahkan banyak hal yang harus diikuti oleh umatnya.
Harusnya sunnah Rasulullah tersebutlah yang diikuti dan dilaksanakan, karena
dengan mengikuti sunah Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam tersebut akan
mendapatkan pahala.
Rasulullah shallalahu’alahi wa sallam bersabda :
“Amma ba’du ! Maka
sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah ( al-Qur’an) dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallalahu’alaihi wa sallam. Dan
sejelek-jelek urusan adalah yang baru (muhdats) dn setiap muhdats adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka
Meskipun banyak da’wah yang disampaikan oleh ulama yang berpegang kepada
syari’at, tetapi kebanyakan orang-orang yang ghuluw terhadap ulama panutannya
lebih senang bertahan dengan apa yang mereka peroleh dari tuan guru dan ustadz yang
jadi panutan, mereka beranggapan apa yang mereka peroleh sebelumnya meskipunm
bid’ah adalah benar.
d.Mengagungkan
dan mengistimewakan kedudukan akhlul bait turunan Rasullullah ( para sayyid dan
habib)
Dimata mereka yang
berbuat ghuluw sangat mengagungkan dan menghormati Orang-orang yang keturunan
Arab yang bergelar sayyid dan habib karena
dianggap sebagai keturunan dari Rasullullah shallallahu’alaihi
salam.Mereka- tersebut dianggap mempunyai kedudukan yang istimewa karenanya
patut diberikan penghormatan yang berlebih, apabila tidak maka akan menjadi
kualat. Setiap bertemu dengan para sayyid dan habib orang-orang pada berebut
mencium tangan mereka untuk berebur baraqah. Apa yang dikatakan oleh sayyid dan
habib yang berkaitan dengan hal-hal agama meskipun bertentangan dengan syari’at
( al-Qur’an dan as-Sunnah) selalu akan diikuti
e.Menjadikan
kubur-kubur para wali, syaikh,kiai,tuan guru,ulama dan habib sebagai kubur yang
berkeramat untuk ngalap berkah
Orang-orang yang berbuat ghuluw menjadikan kubur-kubur yang
dianggap wali, syaikh, tuan guru, kiai,ulama, habib, dan orang shalih sebagai
tempat yang berqaromah ( berkeramat ).Sehingga mereka yang jahil berduyun-duyun mendatangi kubur
orang-orang yang dianggap berqaromah mencari berkah dan berdoa menyampaikan
berbagai hajat keperluan. Padalah menurut syari’at bahwa mencari baroqah itu
terbatas hanya kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika beliau
masih hidup, begitu juga mencari baroqah kepada orang-orang shalih yang masih
hidup dengan mengambil ilmu yang bermanfaat dari mereka dan doa mereka .
Sedangkan bertabaruk ( mencari baroqah) pada kubur-kubur yang dianggap
berqaromah dilarang oleh syari’at.
f.Bepergian ( melakukan safar )
untuk ziarah kubur
Banyak diantara umat Muslim di
seluruh Nusantara ini yang berkeyakinan bahwa makam/kuburan para wali Allah,
ulama, kiai, tuan guru dan orang-orang shalih mempunyai karomah sehingga patut
untuk diziarahi, meskipun untuk itu harus melakukan perjalanan yang jauh yang
memerlukan waktu,tenaga dan biaya. Perhatikanlah betapa banyak hampir setiap
hari kuburan wali songo didatangi ribuan penjiarah dari berbagai daerah. Para
peziarah itu mempunyai maksud-maksud untuk berdo’a di sisi kubur wali
karenalebih berkah, terkabul, menjadikan mereka wasilah (perantara) kepada
Allah, bahkan sampai meminta kepada para wali itu. Bentuk ghuluw yang sangat
nyata. Akibatnya mereka akan terjatuh ke dalam kesyirikan atau minimal
terjerembab ke dalam bid’ah.Mereka yang datang secara berombongan dengan
dipimpin seseorang ustadz membaca beramai-ramai bacaan untuk berziarah yaitu
yang diberi nama “ Salamullah Ya Sadah
“
g. Membangun masjid di kuburan
Membangun masjid di kuburan termasuk tindakan ghuluw, sebab
ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia), dan
banyak gambar (patung) di dalamnya, baliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إن
أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك
الصور، فأولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
Mereka itu (orang Nasrani) jika ada
seorang shalih yang meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya, dan
membuat gambar (patung)nya, mereka itu makhluk paling jelek di sisi Allah pada
hari kiamat. (HR. Bukhari 427, Muslim 528).
Allah melaknat orang-orang Yahudi
dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid,
(Aisyah berkata): “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan
dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburannya akan dijadikan
masjid. (HR. Bukhari 435)
Dalam redaksi lain beliau mengatakan:
Camkan, sesungguhnya aku melarang perbuatan itu. (HR.
Muslim 532).
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa membangun masjid
di kubur atau mengubur mayit dalam masjid adalah dilarang karena termasuk
tindakan kelewat batas. Selain itu, bisa menyeret kepada kesyirikan. Sebab
orang yang shalat di dalam masjid tersebut akan menghadap kepada kubur, adanya
ta’aluq (keterkaitan) hati dengan mereka dan akhirnya beribadah kepada penghuni
kubur dengan minta berkah, syafaat dan lain sebagainya. Imam Qurthubi
mengatakan: “Semua (larangan) itu bertujuan memutus jalan menuju peribadatan
kepada penghuni kubur, sebab larangan ini sama halnya dengan sebab dilarangnya
membuat patung orang-orang shalih karena akhirnya patung itu juga diibadahi.”
(Lihat Fathul Majid, hal. 277)
Imam Syafi’i berkata: “Saya benci bila ada makhluk yang
diagungkan hingga kuburnya dijadikan sebagai masjid. Sebab ditakutkan akan
terjadi fitnah yang menimpa pelakunya juga orang-orang sesudahnya.” (al-Majmu’
Syarh Muhadzdzab, 1/456)
Maksud menjadikan masjid di sini tidak sebatas membangun
masjid tetapi mencakup mendirikan shalat di kubur walaupun tidak ada masjidnya,
sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سنن أبي داوود ١٧٤٦: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ
قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ
سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Sunan Abu Daud 1746: dari
Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan (tidak pernah
dilaksanakan di dalamnya shalat dan juga tidak pernah dikumandangkan ayat-ayat
Al Quran, sehingga seperti kuburan), dan jangan kalian jadikan kuburanku
sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi pada
setiap waktu dan saat), bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian
akan sampai kepadaku di manapun kalian berada."
Sabdanya pula:
Kalian jangan shalat menghadap kubur
dan mendudukinya. (HR. Muslim 1614)
Imam al-Albani menyimpulkan: “Makna menjadikan kubur
sebagai masjid ada tiga:
1. Shalat di atas kubur, yaitu sujud di atasnya.
2. Sujud dengan menghadap kubur, baik dengan melakukan
shalat atau berdo’a.
3. Membangun masjid di atas kubur dan shalat di dalamnya.”
(Tahdzirus Sajid Liman Itakhadza al-Kubura Masajida, hal. 33)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Peringatan dari
beliau dan laknat terhadap penyerupaan kepada ahli kitab di dalam membangun
masjid di atas kubur orang shalih merupakan larangan yang sangat gamblang dari
penyerupaan dalam masalah ini dan merupakan dalil agar waspada dari perbuatan
mereka. Karena tidak ada jaminan bahwa seluruh perbuatan orang muslim tidak
akan sama dengan mereka. Dan sudah diketahui bahwa umat ini telah tertimpa
musibah ini berupa pembangunan masjid di atas kubur dan menjadikan masjid
tempat shalat meski tidak dibangun masjid.” (Iqtidho Sirothol Mustaqim,
1/335).
Imam al-Albani mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang
mencermati semua hadits yang mulia tadi akan jelas baginya, tiada keraguan lagi
bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid adalah haram, bahkan termasuk dosa
besar yang paling besar, sebab adanya laknat dan disifatinya orang yang
melakukan perbuatan tersebut sebagai makhluk yang terjelek di sisi Allah,
tidaklah mungkin kecuali bagi orang yang melakukan dosa besar. Hal ini tidak
samar lagi.” (Tahdzirus Sajid, hal. 33).
h. Membangun kuburan dengan diberi
kubah, dikijing, dicat dan ditulisi
Perhatikanlah bagaimana keadaan kubur umat muslim dinegeri
ini yang dibuat dan dibangun sedemikian rupa, apalagi yang namanya kubur-kubur
orang-orang yang dianggap berkeramat seperti kuburnya para wali,syaikh, habib,
ulama,tuan guru dan orang shalih dibangun sedemikian rupa dengan diberi kubah
dan diberi berbagai hiasan-hiasan indah berupa kaligrafi islam. Padahal
rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang hal tersebut sebagaimana yang
tersebut dalam hadits :
صحيح مسلم ١٦١٠: حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ
وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
و حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ
يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Shahih Muslim 1610: dari Jabir ia berkata;
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk
dan membuat bangunan di atasnya."
Imam Syafi’i mengatakan, “Saya benci dibangunnya masjid di
atas kubur, tetapi harus diratakan (disisakan sejengkal, sebagaimana
ditunjukkan hadits yang shahih, -pen), saya membenci shalat di atasnya sedang
kubur itu tidak diratakan, atau shalat menghadap kubur”. (Al-Umm,
1/278).
Kata beliau juga: “Dibenci apabila kubur ini dicat, ditulis
namanya, atau selain itu dan dibenci kubur itu dibangun.” (Al-Majmu’,
an-Nawawi 5/266).
Imam Nawawi menambahkan, “Dibenci apabila kubur dicat,
dibangun, dan ditulis nama si mati. Jika kubur itu dibangun maka harus
dihancurkan.” (as-Sirajul Wahhaj 1/114)
Imam al-Haitami malah menganjurkan agar merobohkan kubah
dan bangunan yang ada di kubur. Sebab perbuatan tersebut lebih jelek ketimbang
pembangunan masjid Dhirar, dan dilandasi durhaka kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena beliau telah melarang pembangunan tersebut dan
memerintahkan agar merobohkan dan menghilangkan segala macam lampu yang ada di
sana.” (az-Zawajir, 1/195).
Perlu diperhatikan bahwa ulama salaf sering menggunakan
istilah “saya benci”, “hal itu dibenci” diambil dari kata bahasa Arab “makruh”,
lantas apa maksudnya? Al-‘Allamah al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi
Syarah Tirmidzi jilid I, memaparkan: “Kata ini sangat sering diucapkan
para salaf dan seringkali makna yang dimaksud adalah haram.” Lalu beliau
menukil perkataan al-‘Allamah al-‘Aini (pensyarah Shahih Bukhari):
“Para ulama terdahulu memutlakkan kata karohah (makruh) dan makna yang
dikehendaki adalah haram.” Usai itu menukil dari Ibnul Qoyyim dan ulama
lainnya. (hal. 324)
Adapun hadits tentang pelarangan meninggikan tanah kubur
adalah hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata kepada Abul Hayyaj al-Asadi:
سنن أبي داوود ٢٨٠١: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ
عَنْ أَبِي هَيَّاجٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ
بَعَثَنِي عَلِيٌّ قَالَ لِي أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي
عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَدَعَ
قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ
Sunan Abu Daud 2801:
dari Abu Wail dari Abu Hayyaj Al Asadi, ia berkata; Ali telah mengutusku, ia
berkata; aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
telah mengutusku, agar aku tidak meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali
aku meratakannya, dan tidak meninggalkan berhala kecuali aku hancurkan.
Imam Nawawi mengatakan, “Termasuk sunnah (bukan sunnah
dalam definisi fiqih, -pen) tidak meninggikan kubur terlalu tinggi, tidak boleh
menjulang, tetapi hanya sekitar satu jengkal. Inilah madzhab Syafi’i dan
orang-orang yang menyetujui beliau. Qodhi Iyadh menukil bahwa ini juga termasuk
madzhab Imam Malik.” (Syarh Muslim 3/32 cet. Darul Khair).
i. Menjadikan mereka para wali, tuan
guru, ulama dan orang-orang shalih sebagai perantara kepada Allah ( bertawasul)
Sudah menjadi kebiasaan bagi
sebagian orang-orang Muslim dalam memanjatkan doa mereka bertawasul dengan
menyebutkan para wali, ulama dan orang-orang shalih yang sudah meninggal
sebagai perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala.Padahal bertawasul kepada
orang-orang yang sudah meninggal tidak dibenarkan dan terlarang dalam Islam,
termasuk bertawasul kepada Rasullullah shallaahu’alaihi wa sallam yang sudah
tiada, apalagi bertawasul kepada selain beliau.
Sementara orang membolehkan bertawasul dengan orang-orang
shalih yang telah mati, baik para Nabi atau selainnya, dengan anggapan mereka
kuasa memfasilitasi permintaan mereka kepada Allah. Anggapan ini muncul
didasari keyakinan bahwa mereka adalah wali Allah sehingga dekat dengan Allah,
niscaya permintaan mereka lebih mungkin terkabul. Memang tidak sekedar itu
argumen mereka. Banyak ayat dan hadits yang disodorkan untuk menguatkan
pendapat mereka. Namun ternyata dalil-dalil tersebut kalau tidak dha’if, salah
dalam istidlal (penyimpulan dalil) atau dalil tersebut tidak ada hubungannya
dengan tawasul. Tawasul semacam ini termasuk bid’ah. Tetapi bila mereka
meyakini bahwa orang shalih tersebut mampu dengan sendirinya mengabulkan
permintaan mereka maka digolongkan ke dalam kesyirikan. Anehnya mereka
menamakannya sebagai tawasul. (Lihat Al-Furqon edisi 10 Th. II, lihat juga
kitab at-Tawasul oleh Imam al-Albani dan at-Tawashul
ila Haqiqatit Tawasuloleh Syaikh Muhammad Nashib Rifa’i).
Karena terlarangnya bertawasul kepada orang yang telah
mati, maka disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa dizaman khalifah ‘Umar bin
Khaththab terjadi kemarau panjang maka beliau meminta hujan dengan berwasilah (
bertawasul ) melalui ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib paman Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam , karena pada saat tersebut Rasullullah shallallahu’alai
wa sallam telah wafat. Sesuai dengan hadits riwayat Bukhari :
صحيح البخاري ٣٤٣٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا
اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا
كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ
فَيُسْقَوْنَ
Shahih Bukhari 3434: dari
Anas radliallahu 'anhu bahwa 'Umar bin Al Khaththab ketika mereka ditimpa
musibah kekeringan dia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul
Muththalib seraya berdo'a; "ALLOOHUMMA INNAA KUNNA NATAWASSALU ILAIKA BIN
ABIYYINAA MUHAMMAD SHALLALLAHU'ALAIHIWASALLAM FATASQIINAA WA-INNAA NATAWASSALU
ILAIKA BI'AMMI NABIYYINAA FASQINAA" Ya Allah, kami dahulu pernah meminta
hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami kemudian Engkau menurunkan hujan
kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi
kami, maka turunkanlah hujan untuk kami". Anas berkata; "Kemudian
turunlah hujan.
j.Melestarikan
peninggalan
Telah disinggung di muka tentang pengagungan kaum Nuh
–‘alaihis salam- terhadap tokoh mereka. Allah mengkisahkan dalam firman-Nya:
وَقَالُوا
لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ
وَيَعُوقَ وَنَسْراً
Dan mereka berkata: “Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’,
yaghuts, ya’uq dan nasr “. (QS. Nuh: 23)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata:
“Nama-nama itu (Wadd, dll –pen) adalah orang-orang shalih pada masa Nabi Nuh.
Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada pengikut mereka agar membuat
patung perwujudan mereka, dinamakan dengan nama-nama mereka lalu memasangnya di
majelis para pengikut itu. Rencana ini dilaksanakan, namun ketika itu belum
disembah. Akhirnya ketika para pengikut ini mati dan ilmu telah dicabut,
disembahlah patung-patung tersebut.” (Kitab Tafsir no. 4920)
Ibnu Hajar mengomentari, “Dan kisah orang-orang shalih ini
merupakan titik awal penyembahan patung-patung ini oleh kaum Nuh, kemudian diikuti
oleh umat sesudah mereka.” Kata beliau juga, “Amr bin Rabi’ah mempunyai khadam
jin, dia menginformasikan kepada Amr tempat patung-patung itu. Lalu Amr
bin Rabi’ah mendatangi tempatnya yaitu di pantai Jedah (Saudi Arabia) dan dia
menemukan patung Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Ini adalah
nama-nama patung yang disembah pada zaman Nabi Nuh dan Idris, namun angin topan
telah membawanya ke pantai itu lalu tertimbun pasir. Amr sangat mengagungkan
patung-patung itu lantas dibawanya ke Tihamah (Makkah). Ketika musim
haji, dia mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Ternyata ajakannya disambut
baik. Amr bin Rabi’ah ini adalah Amr bin Luhai seperti (yang, -ed) telah
disebutkan di muka.” (Fathul Bari 8/852-853 cet. Darus Salam)
Al-Qurthubi mengatakan: “Pematungan mereka itu tiada
lain agar pengikutnya dapat meneladani dan mengingat amalan-amalan mereka yang
baik sehingga dapat bersungguh-sungguh seperti kesungguhan mereka dan
beribadah kepada Allah di sisi kubur mereka. Akan tetapi generasi penerus mereka
tidak mengetahui maksud pematungan tersebut. Lalu setan membisiki mereka bahwa
para pendahulu menyembah dan mengagungkan patung-patung itu.” (Fathul Majid,
hal. 265)
Syaikh Abdurrahman mengatakan, “Hal ini merupakan
peringatan dari sikap ghuluw dan dari sarana-sarana kesyirikan, meskipun
bertujuan baik. Karena setan menjerumuskan mereka ke dalam lembah kesyirikan
lewat pintu ghuluw kepada orang-orang shalih dan berlebih-lebihan dalam
mencintai mereka. Dan akhir-akhir ini perilaku ini telah muncul pula di tengah
umat. Setan menampakkan sikap ghuluw dan bid’ah-bid’ah kepada orang tersebut di
balik nama pengagungan dan kecintaan kepada orang-orang shalih dengan maksud
ingin menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan yang lebih berbahaya, yaitu
penyembahan kepada orang-orang shalih. Disebutkan dalam suatu riwayat,
orang-orang itu mengatakan: “Pendahulu kita tidaklah mengagungkan mereka
melainkan karena mengharap syafa’at mereka di sisi Allah.” Yaitu mereka
mengharap syafa’at orang-orang shalih yang mereka patungkan sesuai nama
mereka.” (Fathul Majid hal. 264).
Lantaran itu ketika ada sekelompok penulis yang menyuarakan
agar peninggalan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan para suhada
Uhud dilestarikan, maka Imam Abdul Aziz bin Baz membantah mereka dalam fatwanya
(1/139)
VIII.
K h a t i m a h
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang
dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan
merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu
wa ta’ala menerangkan kebencian-Nya
terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat
Rasulullah shallallahu’alaihiwa sallam
tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri
beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas
mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
Pengkultusan terhadap diri Rasullulla shallallahu’alaihi wa
sallam saja tidak diperkenankan, tentunya lebih-lebih terhadap individu selain
beliau seperti wali, syaikh, tuan guru, kiai, ulama dan orang shalih sangatlah
terlarang dan haram hukumnya.
Sehubungan dengan itu marilah kita jauhkan dan hindarkan
diri kita dari sikap ghuluw baik kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam terlebih lagi terhadap individu selain beliau.(Wallahu’alam)
Sumber :
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www Lidwa
Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan ),Penjelasan Kitab Tauhid,Dyaikh Abdurrahman
Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka Azzam
4.Perilaku & Akhlak Jahiliyah,Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab
At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk,
penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin MNU’alla
Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik H.Mahrus Ali,
penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’I, penerbit Media Hidayah
11.www.Asysyariah.com
Selesai disusun,Mamis, 9 Dzulhijjah
1433H/25 Oktober 2012
( Musni Japrie )